Pada sidang uji materi yang sama, Selasa (23/11), ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Heribertus Jaka Triyana menilai UU PSDN berpotensi melanggar HAM akibat persoalan pemahaman anggota Komcad soal hak dan kewajiban warga sipil yang dipersenjatai.
"Potensi pelanggaran HAM terkait dengan pelaksanaan UU ini terlihat nyata ketika syarat-syarat ataupun hal-hal yang terkait dengan substansi yang harus dimiliki oleh masyarakat, warga negara yang termaktub dalam komponen cadangan dan pendukung itu jadi titik telak kelemahan utama dalam pelaksanaan UU ini," ujar dia.
Heribertus kemudian mempertanyakan pemahaman warga sipil yang tergabung dalam Komcad soal konsekuensi hukum ketika dimobilisasi dalam situasi darurat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian menyoroti keterangan ahli sebelumnya, Bhatara Ibnu Reza mengenai prinsip kombatan dalam hukum humaniter internasional. Menurut Heribertus, komcad ketika dilibatkan dalam kerangka ancaman militer maka ia berstatus sebagai kombatan, sehingga jika mereka melakukan pelanggaran hukum, maka yang berlaku adalah hukum militer.
Heribertus sangsi jika anggota komcad yang merupakan warga sipil mengerti risiko ketika terlibat dalam situasi ini. Menurut dia, peralihan status mereka dari sipil yang menikmati hak-hak perlindungan hukum yang diatur dalam hukum humaniter internasional akan dapat disimpangi secara sengaja oleh pemerintah.
Dengan demikian, ia menilai, hal ini merupakan unsur kesengajaan dari pemerintah untuk tidak memenuhi syarat substansi bahwa warga negara wajib mengerti dan diberitahu segala konsekuensinya.
"Kami kira ini jadi salah satu kelemahan utama dan berpotensi terjadi pelanggaran HAM oleh negara terhadap warga negaranya yang dapat terjadi secara terstruktur dibingkai pada landasan formal melalui UU a quo," jelasnya.
"Intinya, menurut ahli, UU a quo ini berpotensi melanggar HAM karena ada unsur kesengajaan yang disengaja untuk menutupi, menghindarkan hak-hak dan kewajiban yang wajib diketahui oleh warga negara," urai dia.
Lihat Juga : |
Senada, ahli dari Departemen Sosiologi dan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM Muhammad Najib Azca menyatakan bahwa tugas Komcad menghadapi ancaman militer dan non-militer tidak tepat.
Hal ini merujuk pada Pasal 15 ayat (3) UU PSDN memang mencantumkan bahwa komponen cadangan dapat mengabdi untuk menghadapi ancaman militer dan hibrida.
Jika merujuk laman resmi Kemenhan, ancaman hibrida merupakan ancaman yang bersifat campuran atau perpaduan yang di dalamnya terdapat ancaman militer dan non-militer seperti ancaman konvensional, asimetrik, dan cyberware, keterpaduan serangan antara persenjataan kimia, biologi, politik, sosial budaya, keselamatan umum, teknologi, dan informasi.
Menurut Najib, kebijakan dalam UU PSDN itu bertentangan dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Sebab, merujuk pasal 7 UU pertahanan negara, komponen utama dalam menghadapi ancaman selain ancaman militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan.
"Dengan mengikuti kerangka tersebut, bisa dikatakan bahwa langkah dan kebijakan pembentukan Komcad untuk menghadapi ancaman non-militer menyalahi konstruksi politik konstitusional di negara demokratis yang melihat dan menempatkan kehadiran militer sebagai alat perang," kata dia.
Sebagai informasi, uji materi UU PSDN diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yakni, Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia; dan tiga warga.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
(arh/cfd/dmi/arh)