Koalisi masyarakat sipil untuk keadilan kesehatan masyarakat mendesak pemerintah untuk segera memperbaiki sistem dan mekanisme alur masuk karantina bagi para Warga Negara Indonesia (WNI) pelaku perjalanan internasional. Koalisi juga mendesak pemerintah membongkar calo yang menawarkan jasa karantina dengan harga tinggi.
Koalisi yang terdiri dari LaporCovid-19, YLBHI, dan Lokataru ini menyoroti beredarnya video dan pemberitaan media tentang antrean WNI di Bandara Soetta pada Sabtu (18/12) lalu. Kondisi itu memberikan risiko baru kepada warga lantaran terjadi penumpukan di bandara.
"Kami mendesak pemerintah untuk memperbaiki sistem dan mekanisme alur masuk dan karantina dengan memastikan adanya kesiapan fasilitas karantina yang dapat segera ditempati oleh para pelaku perjalanan internasional secara adil," kata koalisi dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (22/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi menilai antrean tersebut merupakan bukti bahwa sistem dan mekanisme karantina masih belum efektif dan justru rentan menjadi sumber penularan virus. Penumpukan yang terjadi baru-baru ini juga menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dan mengakibatkan banyak warga harus menunggu hingga dua puluh jam.
"Bahkan, menurut video yang beredar di publik, warga terpaksa tidur di lantai bandara atau conveyor belt. Dalam kondisi lelah setelah menempuh perjalanan jauh, situasi ini bisa menurunkan stamina kesehatan, dan tidak mustahil menjadikan rentan sakit," kata mereka.
Koalisi menyoroti temuan calo di lapangan yang menawarkan harga karantina lebih mahal. Selain itu, koalisi juga menilai temuan penumpukan WNI di Bandara ini juga dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan aksi suap hingga meloloskan warga untuk tidak mengikuti karantina.
Koalisi mengingatkan tujuh WNA asal India pernah menyuap petugas untuk menghindari ketentuan karantina. Ada pula seorang publik figur yang mengaku membayar anggota TNI sebesar Rp40 juta untuk bisa lolos dari karantina.
"Terulangnya kejadian ini menandakan bahwa terjadi pembiaran terhadap aksi calo dan pungli dalam proses karantina pelaku perjalanan luar negeri. Selain itu, pengawasan terhadap alur masuk dan juga karantina bagi pelaku perjalanan internasional masih lemah dan belum ada upaya perbaikan serius dari pemerintah," lanjut koalisi.
Lebih lanjut, koalisi juga menyesalkan sikap pemerintah yang antikritik. Mereka menyebut eorang warga yang merekam kejadian penumpukan pada Sabtu lalu itu justru dihukum dengan menempatkan antriannya di akhir untuk menuju lokasi karantina.
Selain itu, pemerintah justru meminta warga yang mampu untuk memilih karantina berbayar sehingga tidak terjadi penumpukan. Kondisi tersebut menurut koalisi berbanding terbalik dengan pengistimewaan pejabat pemerintah yang mendapat dispensasi waktu dan lokasi karantina.
"Kami mendesak juga agar pemerintah menghentikan segala bentuk aksi represif dan anti-kritik terhadap warga yang menyampaikan laporan maupun keluhan atas buruknya tata laksana penanganan pandemi, dan melakukan perbaikan sebagai bentuk melibatkan partisipasi warga dalam memperbaiki sistem penanganan pandemi," ujar koalisi.
(mln,khr/fra)