Memasuki penghujung tahun, dugaan pelecehan seksual di pesantren terungkap. Salah satunya pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat. Seorang guru ngaji Herry Wirawan diduga melakukan pelecehan seksual terhadap belasan santri sejak 2016.
Santri-santri yang dilecehkan oleh Herry rata-rata masih di bawah umur. Tercatat ada 9 bayi yang lahir akibat perlakukan Herry terhadap santriawatinya.
Dua pesantren asuhan Herry itu kemudian ditutup oleh Kementerian Agama (Kemenag). Saat ini Herry juga tengah menjalani persidangan di Pengadilan Kelas IA, Bandung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terbaru, kasus kekerasan yang diduga melibatkan guru terjadi di Kabupaten Tasikmalaya dan Cilacap. Korbannya merupakan sejumlah santriwati dan siswi Sekolah Dasar (SD), dan beberapa santrinya bahkan sampai melahirkan.
Kasus lainnya menimpa IN, istri salah satu tahanan di Sumsel, FP yang dipaksa bersetubuh oleh Bripka IS hingga hamil. Feodor Novikov Denny Kuasa hukum FP (59), mengatakan Bripka IS mengancam akan memindahkan FP ke Nusakambangan apabila IN tidak setuju untuk berhubungan badan dengannya.
Terbaru, kasus pelecehan menimpa Mahasiswa Universitas Brawijaya Novia Widyasari. Ia diperkosa oleh kekasihnya yang juga merupakan polisi, Bripda Randy Bagus Hari Sasongko.
Novia bahkan dipaksa untuk sudah melakukan tindakan aborsi sebanyak dua kali pada Maret 2020 dan Agustus 2021. Kejadian itu membuat Novia trauma dan ia melakukan bunuh diri di samping makam ayahnya.
Atas perbuatan Bripda Randy Bagus secara internal melakukan perbuatan melanggar hukum Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik serta dijerat Pasal 7 dan Pasal 11. Secara eksternal dijerat dengan Pasal 348 Juncto 55 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Sejumlah pihak berpendapat kasus pelecehan seksual seperti fenomena gunung es. Banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang tidak naik ke permukaan karena berbagai hal.
Koordinator Pelaksana Harian Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti mengatakan terdapat dua faktor kasus kekerasan seksual menjadi fenomena gunung es.
Pertama, para korban takut berbicara karena trauma dan khawatir akan stigma sosial. Kedua, mandeknya proses hukum setelah korban melapor.
"Ini kan problem sebetulnya di masyarakat kita, bahwa kekerasan seksual menjadi culture of silence. Seperti masyarakat yang tidak menahu soal kekerasan seksual dan kemudian masyarakat yang tidak abai tapi tidak memberikan ruang nyaman untuk korban untuk berbicara. Ditambah penegakan hukum kita yang lemah," kata Khotimun saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (10/12).
Khotimun menilai perlu adanya payung hukum yang menjamin kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. Salah satunya melalui Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)
"Jadi dalam waktu dekat Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) merupakan sebuah urgensi yang harus dibahas dan disahkan dengan mengakomodir suara banyak orang ya," ujar Khotimatun.
Keputusan rapat pleno pada 8 Desember menyetujui bahwa RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR. Keputusan itu diambil setelah mendengarkan pendapat sembilan fraksi.
Sebanyak enam fraksi yang menyatakan setuju RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR ialah F-PDIP, F-Partai Gerindra, F-Partai NasDem, F-PKB, F-Partai Demokrat, dan F-PAN.
F-PPP menyatakan setuju dengan memberikan catatan soal perubahan judul. Sementara F-PKS menolak draf RUU ini, sikap konsisten yang dilakukan sejak RUU ini bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Panja RUU TPKS menargetkan RUU ini sah menjadi inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 15 Desember. Jika disetujui, RUU ini akan dibahas di DPR bersama pemerintah untuk kemudian menjadi UU.
Namun, RUU TPKS batal dibawa ke Rapat Paripurna masa persidangan dua tahun sidang 2021-2022. Agenda paripurna pada hari itu hanya membahas pengambilan keputusan atas RUU tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan pidato Ketua DPR Puan Maharani.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut ada masalah teknis sehingga RUU TPKS gagal dibawa ke Rapat Paripurna. Menurutnya, RUU TPKS telah melewati batas waktu rapat pimpinan dan Badan Musyawarah (Bamus) di DPR.
"Masalah teknisnya itu adalah ketika kita Rapim dan Bamus, UU belum selesai dibahas di tingkat 1," ujar Dasco kepada wartawan di kompleks Parlemen, Kamis (16/12).
Sementara Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskanda alias Cak Imin memastikan RUU TPKS bakal disahkan di paripurna berikutnya, yakni pembukaan masa sidang awal 2022. Ia meminta masyarakat tak khawatir dan bersabar menunggu RUU TPKS disahkan.
"Saya yakin masa persidangan yang akan datang beres gaes. Sabar ya bro," kata Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dalam cuitannya, Jumat (17/12).
(yla/fra)