Ishak Ismail seorang kapten yang menakhodai Kapal Riset (KR) Baruna Jaya didepak dari pekerjaan yang sudah dilakoninya selama 19 tahun. Padahal ia belum ingin dan belum waktunya pensiun.
Semua itu terjadi karena peleburan sejumlah lembaga ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Semua pegawai pemerintah non-pegawai negeri (PPNPN) di lembaga yang dilebur kontraknya tak diperpanjang per 31 Desember 2021, termasuk Ishak.
Padahal, Ishak ikut terlibat dalam beberapa misi pelayaran penting, salah satunya dalam penemuan kotak hitam dalam proses pencarian dan evakuasi Air Asia QZ 8501.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya [saat itu ikut evakuasi Air Asia], ada panglima, kalian ikut?" kata Ishak kepada wartawan pada Rabu (5/1).
Ia bahkan mendapat tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo pada Juli 2015 silam karena dianggap berjasa.
Tak pernah terpikir olehnya, enam tahun kemudian ia harus hengkang sebagai kapten KR Baruna Jaya. Bukan karena tak kompeten, tapi karena peleburan lembaga.
Ishak tak sendiri. Ada ratusan bahkan ribuan orang yang diprediksi bernasib sama. Oleh sebab itu ia dan puluhan PPNPN lain dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendatangi Komnas HAM pada Rabu (6/1), untuk mengadu ketidakadilan pemutusan kontrak.
Mereka merasa usaha dan perannya selama ini terhadap Indonesia tak dilupakan.
![]() |
Ishak tak banyak bicara saat mendatangi Komnas HAM. Ia datang menggunakan seragam dengan lengkap. Ia berkata, ceritanya dan ratusan PPNPN yang tersingkir dapat diwakili oleh oleh koleganya, Andika.
Andika adalah seorang teknisi ahli Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) BPPT. Ia mengaku sangat kaget harus angkat kaki secara mendadak dari kapal KR Baruna Jaya setelah mengemban tugas penting untuk mencegah bencana tsunami di Indonesia.
Ia bercerita, pihaknya harus berkeliling Indonesia selama sebulan untuk melakukan pemetaan dan pemasangan alat pendeteksi dini tsunami dan gempa. Ia menyebut, tugas itu bagian dari proyek InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) yang dikembangkan oleh BPPT.
"Satu bulan. Dari kami berangkat satu bulan itu dari Selat Sunda, Samudera Hindia, Malang, Denpasar, abis itu ke Sumba gitu yang gempa kemarin itu kan 7,5 itu kita bertolak ke sana," kata Andika saat berbincang-bincang dengan wartawan di depan Kantor Komnas HAM, Rabu (5/1).
Usai memasang pendeteksi dini di Sumba, Andika dan kolega lainnya berlabuh di Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, pada Kamis, 30 Desember 2021.
Sesaat setelah ia tiba, datang perwakilan BRIN yang memberitahukan kepada mereka untuk segera mengosongkan kapal. Sebab, per tanggal 1 Januari Andika dan koleganya dibebastugaskan.
Ia bahkan tak sempat beristirahat dari perjalanan yang melelahkan, tapi harus bergegas membersihkan kapal.
Andika mengaku tak ada pemberitahuan terkait itu sebelumnya. Sebelum berlayar, ia diberi tahu secara lisan bahwa pihak BPPT dan BRIN akan memperpanjang kontraknya dan ratusan PPNPN lain selama tiga bulan.
Setelah itu, kata Andika, BPPT dan BRIN mengaku akan memikirkan kembali kelanjutan kontraknya. Namun, janji itu bertolak belakang dengan kenyataan.
"Katanya janjiin khusus untuk balai kita. Balai kita tuh akan diperpanjang tiga bulan ke depan nanti akan dievaluasi akan mau kemana nih pegawai pegawai," kata Andika.
"Mengevaluasinya sesuai ijazah, berarti akan direkrut ke swasta lah. Misalnya gitu. Tapi ternyata tidak ada gitu loh," katanya.
Kenyataannya, ia harus angkat kaki dan mengosongkan kapal dalam satu malam. Tak ada peringatan, bahkan pemberitahuan secara tertulis.
"Kita ga ada surat, jadi lisan gitu aja dari pihak BRIN, tapi itu juga perwakilan bukan langsung. Engga dikumpulin. Cuman ngomong tanggal 1 harus hengkang semuanya ya gitu udah gitu aja," ucapnya.
"Lah berarti sosialisasi kemarin cuma untuk nenangin kita aja," ucapnya.
Andika dan koleganya tak banyak pilihan. Saat itu, ia hanya membereskan kapal sebaik-baiknya lalu pergi dan memikirkan langkah yang harus diambilnya. Termasuk, menentang pemutusan kontraknya dan mengadu ke Komnas HAM.
"Kita enggak bisa ngomong, kita cuman bengong. Cuma kok gini sih? Enggak ada namanya surat edaran dulu, itu enggak ada," ucapnya.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyampaikan, negara sudah seharusnya menghargai jerih payah para eks pegawai tersebut. Sebab, mereka telah mengabdi dan terlibat dalam riset berskala nasional bertahun-tahun.
"Saya kira negara harus juga menghargai jerih payah atau upaya kerja keras dari kawan-kawan ini semua, meskipun tidak terlihat di media. Tapi riset-riset yang ada itu juga saya kira membantu Indonesia lebih maju," ucap Beka di kantornya.
Menurutnya, mereka adalah sumber daya manusia yang potensial yang sudah sepatutnya dihargai di negeri ini.
"Saya kira tenaga-tenaga potensial atau sumber daya manusia yang potensial di republik ini harus dihargai sejarahnya dan peran terhadap riset yang ada di Indonesia," ucap dia.