Persoalan banjir tahunan Jakarta dinilai perlu penyelesaian dengan pendekatan kultural melalui perubahan mentalitas masyarakat dan pemerintah terhadap relasi Jakarta dan air, alih-alih banjir.
Hal itu dikemukakan oleh Sejarawan JJ Rizal mengenai jejak ribuan tahun kota pohon dan air di wilayah nusantara, khususnya Jakarta. Menurut Rizal, banjir besar pada 2002, 2007, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017 dan 2020 merupakan suatu gambaran situasi kacau Jakarta kontemporer.
Hal itu juga sekaligus cermin banjir zaman Oud Batavia kemudian Nieuw Batavia, yang disebabkan oleh irasionalitas rakyat dan pemerintah Ibu Kota yang selama berabad-abad kalah, lantas berdaptasi dengan lingkungan yang dianggap identik dengan banjir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam situasi itu, banjir dibicarakan hanya saat musim hujan tiba, lantas dilupakan saat air surut dan musim hujan berlalu, kemudian dibicarakan lagi saat musim hujan datang dengan terkejut karena banjirnya lebih besar lagi.
"Sampai di sini, mungkin sudah waktunya penyelesaian banjir-selain rencana komprehensif tentang daerah penampungan air dan urbanisasi dengan pengetatan infrastruktur-didasarkan pula pada suatu rencana kultural dengan mengoreksi mentalitas masyarakat serta pemerintah bahwa Jakarta tak identik dengan banjir, tapi air," ujar Rizal.
Rizal memaparkan bahwa Jakarta lahir bersama air hujan tropis 5000 tahun yang lalu yang mengikis punggung rangkaian pegunungan vulkanik Salak dan Gede. Air itu membentuk sungai-sungai yang membawa tanah ke laut, lalu berangsur-angsur jadi dataran endapan lebar yang landai dengan hutan lebat.
Jatipadang, Utankayu dan Tanjungbarat, Telukgong, Rawagatel, Pulomas adalah sedikit dari nama-nama tempat di Jakarta yang banyak sekali mengacu kepada nama pohon bahkan hutan dan air.
Nama-nama tempat itu adalah pengingat masa lampau, sekaligus sumber inspirasi untuk membentuk masa depan Jakarta yang seharusnya dibangun dengan orientasi menyediakan ruangan yang luas bagi pohon dan terutama air.
Suatu inspirasi sumber kesadaran untuk mulai meninggalkan kota kelabu yang penuh beton dan aspal, seraya memulai kota yang tak sekadar hijau, tetapi juga kota biru.
Rizal menyebutkan bahwa air menjadi tema utama prasasti-prasasti tertua di Indonesia. Tidak terkecuali di Jakarta. Pada 1911, di Kampung Batu Tumbuh dekat Gereja Tugu, Jakarta Utara, ditemukan prasasti yang menceritakan bahwa suatu "kali yang bagus dengan air bersih digali". Prasasti dari abad ke-5 ini menyebut Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang memerintahkan menggalinya sepanjang 11 km.
Prasasti tertua di Jakarta itu sering disebut-sebut memberi penjelasan ihwal upaya memanen air untuk menanggulangi banjir saat musim hujan dan menyediakan pasokan air kala musim kering sekaligus juga jalur transportasi perahu dari Kali Cakung ke Kali Bekasi.
"Tetapi, jauh lebih luas lagi prasasti itu menyimpulkan bahwa leluhur di masa lalu memahkotai air sebagai pusat sesembahan karena merupakan awal dan penggerak kehidupan," katanya.
Inilah yang terjadi selang seribu tahun kemudian, ketika orang Belanda datang dan membangun kota Batavia di atas reruntuhan kota bandar Jayakarta. Kota dibuat dengan banyak kanal-kanal yang mengambil air dengan sodetan dari Ciliwung. Batavia dipuja-puji dalam banyak laporan sebagai kota paling indah.
Namun, keindahan itu mulai bermasalah sejak 1730. Kalau musim hujan tiba banjir dan musim kering krisis air. Para ahli kesehatan kala itu bilang sebabnya menunjuk kanal-kanal biang keroknya. Dari sana muncul kabut beracun, penyakit-penyakit aneh seram mematikan.
"Kemasyuran Batavia sebagai Ratu di Timur rontok tinggal jadi Kuburan di Timur. Para elite kaya mulai pindah ke selatan. Mereka menghindari banjir, mencari air bersih dan udara sehat. Puncaknya pada 1800, Batavia ditinggalkan sambil dikutuki sebagai Oud Batavia," katanya.
Peta-peta menjelaskan betapa Batavia adalah kota air. Kawasan ini dilalui begitu banyak sungai.
Tetapi, dampak lingkungannya sangat berat. Akibat buruk ekploitasi pun masuk kota Batavia melalui sungai-sungai yang menjadi sumber air kanal-kanal yang juga sudah menjadi tong sampah rumah tangga juga kotoran.
"Demikianlah dosa ekologi membuat air menjadi nasib buruk. Mereka berusaha menanggulangi banjir, pelumpuran, krisis air dan epidemi penyakit menyeramkan, bahkan berdoa, tetapi malang tak bisa dicegah karena tidak cukup pengetahuan untuk memahaminya," tuturnya.
Tidak seperti di Oud Batavia, maka di Nieuw Batavia semangat menanggulangi banjir kendor. Banjir sering tidak berhasil membangunkan pemerintah dari kelambanan merancang usaha sistematik menanggulanginya.
Meski lamban, mulai 1911 sampai 1921, pemerintah kota meminta Herman van Breen mencari solusi banjir di dalam kota dan sekitarnya. Ia mengusulkan pembangunan sistem kanal besar yang menghubungkan Kali Krukut dengan Ciliwung. Daan van der Zee kemudian MH Thamrin mendukung serta jadi pembicaraan di Dewan Kota.
Breen diperintahkan bikin rencana dan hasilnya suatu master plan penyelesaian banjir yang jauh lebih maju ketimbang rencana kota saat itu yang hanya terkonsentrasi di Menteng dan Weltevreden dengan 430.000 jiwa penduduk.
Breen pada 1923 mengevaluasi sistem kanal banjir yang kurang maksimal disebabkan dua hal. Pertama, pemerintah menghadapi rencananya secara sepotong-sepotong, seperti kanal banjir dari Matraman sampai Muara Angke. Alhasil semua rencana terlambat dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan pembangunan serta jumlah penduduk.
Kedua, penggundulan hutan di pegunungan Jawa Barat utara bagian tengah untuk perkebunan teh sejak 1877 telah membuat erosi hebat. Setelah 200 tahun, aliran dan alur Ciliwung kembali terganggu. Sungai-sungai jadi dangkal dan sedimentasi di saluran air Batavia bikin mahal perawatan.
Meskipun Sukarno seorang arsitek dan mimpinya bangkit untuk mengkonstruksi Jakarta pasca kemerdekaan, tapi ide-ide hidrologi kurang diperhatikannya. Sukarno baru bertindak setelah banjir hebat di awal 1960 dan 1963.
Namun, sekali lagi, rencana induk 1965-1985 memilih cara mengendalikan banjir sistem makro (structural measures) dengan prioritas pembangunan kanal dan sistem polder serta sembilan waduk raksasa. Seperti ide Breen, rencana induk banjir ini pun bernasib sama, tidak dapat pendanaan sehingga banyak rencana ditunda.
Banyak studi meyakini jika rencana induk 1965-1985 ditunaikan semua, bisa jadi banjir sudah dikendalikan. Apalagi dengan rencana membuat "ruang biru" yang meliputi kawasan sekitar Jakarta sebagai satu kesatuan penanganan banjir, termasuk menetapkan besaran ruang hijau yang sangat ideal, yaitu 37,2 atau 241,8 km2.
Namun, bagaimana pun pembangunan infrastruktur banjir selalu keteteran dan ketinggalan dengan perkembangan penduduk serta pengunaan lahan. Ketika rencana induk banjir 1965-1985 dibuat Jakarta sudah berpenduduk 3,8 juta jiwa. Selama 1966-1976 naik jadi 5,7 juta.
"Situasi tambah runyam karena 1980-an adalah masa para konglomert properti merajalela. Mulai dari rawa-rawa di utara Jakarta sampai dengan lembah pegunungan di selatan Jakarta dirambah," katanya.
Kata orang Betawi "kampung pohon" dan "kampung air" telah diambil alih manusia rakus. Mereka mengambil tanah juga airnya disedot. Tak pelak terjadi penurunan permukaan tanah.
(aor/osc)