Hakim Konstitusi Minta Gatot Nurmantyo Belajar dari 14 Putusan MK
Hakim Konstitusi meminta mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo belajar dari putusan uji materi soal syarat ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) yang sudah belasan kali digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam perjalanan panjang gugatan tersebut, tak pernah satu pun yang dikabulkan oleh MK.
Dalam sidang gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Selasa (11/1), Hakim MK, Enny Nurbaningsih mencatat belasan gugatan terhadap aturan tersebut dan tak pernah dikabulkan.
"Terkait dengan permohonan ini sebetulnya ada 13 kali bahkan dalam catatan saya ada 15 kali putusan MK soal pengujian pasal 222 ini. Di sini kemudian pemohon perlu lebih mengelaborasi terkait dengan apa sesungguhnya yang menjadi dasar pembedanya dengan putusan MK terdahulu jadi perlu elaborasi lebih lanjut," kata Enny dalam sidang gugatan yang diajukan Gatot Nurmantyo.
Enny dalam persidangan tersebut meminta pemohon Gatot Nurmantyo menunjukkan legal standing atau kedudukan hukum yang kuat untuk mengajukan gugatan agar bisa menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya sejauh ini penggugat aturan tersebut hanya menggunakan Pasal 1 Angka 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai kedudukan hukum. Menurut pasal tersebut, setiap warga negara berusia 17 tahun atau lebih berhak untuk memilih dan dipilih.
Kedudukan hukum tersebut dianggap tidak kuat karena persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil presiden adalah berasal dari partai politik, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Dasar uji yang digunakan itu sesungguhnya sudah digunakan oleh pemohon terdahulu dan sudah diputus oleh mahkamah sehingga disini perlu dipertegas kemudian alasan," ucap Enny.
14 Kali Gugatan, 14 Kali Ditolak
Secara umum, presidential threshold digugat karena dianggap mencurangi sistem demokrasi di Indonesia. Sebabnya, menurut Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 itu pencalonan presiden dan wakil presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan dukungan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Aturan tersebut dianggap timpang kepada partai kecil yang tidak banyak memenangkan suara di kursi legislatif. Akibat aturan tersebut, partai kecil yang tidak banyak memiliki kursi di legislatif tak bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Di samping itu, aturan tersebut juga dinilai melanggar Pasal 1 Angka 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyebut setiap warga negara berusia 17 tahun atau lebih berhak memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Kendati menurut hakim MK, Enny Nurbaningsih pasal tersebut tak cukup kuat digunakan sebagai legal standing penggugat.
Menurut catatan Kode Inisiatif, terdapat 14 gugatan terhadap pasal 222 UU Pemilu. Dari 14 gugatan tersebut, tak ada satu pun permohonan uji materi presidential threshold yang diterima MK.
Dalam kurun waktu 2017-2018, total ada 14 pengujian, 5 ditolak karena tidak beralasan menurut hukum, 1 permohonan dinilai memiliki pokok permohonan prematur, 4 permohonan tidak memiliki legal standing, 3 permohonan sudah diputus pada permohonan sebelumnya, dan 1 permohonan kabur.
Plt. Ketua Kode Inisiatif Violla Reininda menyebut putusan MK sejauh ini tidak mempertimbangkan kemungkinan seseorang untuk menjadi kandidat calon presiden dan atau wakil presiden. Dia menyebut perhelatan pemilu sejauh ini terbatas menjadi agenda elit politik, bukan pesta rakyat.
"Tidak mempertimbangkan perspektif pemilih untuk memperoleh calon alternatif, calon yang beragam, dan calon yang lebih representatif. Pemilihan calon presiden yang diusung dikhawatirkan menjadi agenda elit politik tanpa mempertimbangkan pilihan-pilihan publik," tuturnya pada CNNIndonesia.com, Rabu (12/1).
Daftar 14 gugatan judicial review UU Pemilu
1. Perkara Nomor 51-52-59-/PUU-VI/2008. Ditolak karena dalil permohonan para pemohon tidak beralasan.
2. Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
3. Perkara nomor 44/PUU-XV/2017. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
4. Perkara 59/PUU-XV/2017. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
5. Perkara nomor 70/PUU-XV/2017. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
6. Perkara 71/PUU-XV/2017. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
7. Perkara 72/PUU-XV/2017. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
8. Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
9. Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima
10. Perkara 54/PUU-XVI/2018. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
11. Perkara nomor 58/PUU-XVI/2018. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
12. Perkara Nomor 61/PUU-XVI/2018. Tidak jelas permohonannya sehingga tidak diterima karena tidak memiliki legal standing.
13. Perkara 92/PUU-XVI/2018. MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima
14. Perkara Nomor 74/PUU-XVIII/2020 oleh Rizal Ramli. Hasilnya MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima.
(mln/gil)