Misi Mustahil Gatot dkk Gugat Presidential Threshold di MK
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan sejumlah tokoh nasional menggugat aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di UU Pemilu. Sejak 2017, belum ada satu pun gugatan terhadap aturan tersebut yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kekinian, sejak 8 Desember 2021, setidaknya ada delapan permohonan uji materi terkait presidential threshold. Seluruh permohonan itu berisi tuntutan menghapus presidential threshold. Semua permohonan pun mendalilkan presidential threshold tidak pernah diatur dalam pasal 6 ayat (2) dan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Namun, Perjuangan Gatot dkk itu harus berhadapan dengan konsistensi MK mementahkan gugatan soal presidential threshold. Setidaknya sudah belasan gugatan pasal presidential threshold sebelumnya yang belum pernah dikabulkan MK sejak UU Pemilu disahkan pada 2017.
Salah satu dalam putusannya, MK juga konsisten tidak menerima permohonan soal presidential threshold karena kedudukan hukum (legal standing) pemohon lemah. Bahkan, pada gugatan di 2020, MK tidak mempertimbangkan hak untuk dipilih dan hak untuk memilih sebagai legal standing.
Peneliti Kode Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana berpendapat gugatan terbaru mungkin saja kembali ditolak jika terlalu mirip dengan 14 permohonan sebelumnya. Terlebih lagi jika batu uji dan argumentasi yang digunakan serupa.
Ihsan menyoroti betapa MK konsisten dalam urusan presidential threshold, terutama soal legal standing dan batu uji. Menurutnya, permohonan baru perlu upaya lebih keras dalam pembuktian agar para hakim konstitusi yakin menghapus presidential threshold.
"Kalau batu ujinya sama semua, itu sangat potensial tidak dapat diterima karena itu pernah diputuskan oleh Mahkamah," kata Ihsan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (13/1).
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati. Dia menyoroti legal standing beberapa pemohon.
Misalnya, Gatot Nurmantyo. Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa, menilai permohonan itu agak sulit, karena Gatot belum pernah diusung partai politik di pemilu sebelumnya. Menurut Ninis, seharusnya permohonan diajukan orang yang pernah diusung partai sebagai capres, tapi terganjal presidential threshold.
Contoh lainnya adalah permohonan yang diajukan Partai Ummat. Menurutnya, MK akan mempermasalahkan posisi Partai Ummat sebagai partai yang belum punya pengalaman di pemilu.
"Mungkin seharusnya partai yang dulu ikut sebagai peserta pemilu, tapi enggak punya kursi di DPR mungkin bisa jadi ikut," kata Ninis saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (13/1).
"Misalnya, PBB enggak bisa mencalonkan Yusril Ihza Mahendra karena syaratnya berat. Padahal, dia sudah jadi partai politik peserta pemilu. Mungkin punya legal standing yang kuat," imbuhnya.
Meski demikian, Ninis dan Ihsan melihat masih ada kans untuk menghapus presidential threshold. Keduanya menyarankan agar para pemohon mendalilkan presidential threshold bertentangan dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia.
Membuka Keran Capres
Ihsan berpendapat penghapusan presidential threshold dapat membuka keran pencalonan presiden. Dia meyakini pemilih bisa mendapat pilihan calon pemimpin yang lebih banyak jika MK mengabulkan permohonan Gatot dkk.
Menurut Ihsan, para parpol sejauh ini mau tidak mau harus berkoalisi dengan keberadaan presidential threshold. Jika aturan dihapus, maka ada kemungkinan kandidat lebih dari dua pasangan.
"Dengan 20 persen saja, kemungkinan capres dan cawapres lebih dari 2 Paslon saja terbuka, apalagi ketika angka threshold diubah, dikecilkan, atau dinolkan. Bukan tidak mungkin akan mengubah eskalasi parpol hari ini," ujar Ihsan.
Ninis menyampaikan penghapusan presidential threshold bisa memberi peluang bagi setiap partai politik mencalonkan presiden. Dia mengatakan bukan tidak mungkin banyak kandidat bisa bertarung dalam pilpres selanjutnya.
"Kalau dikabulkan, misalnya parpol sembilan seperti sekarang, bisa sembilan-sembilannya mengusung calon sendiri. Namun, menurut saya pasti partai berhitung karena pilpres ongkosnya besar, bisa saja bergabung dengan partai politik lain," ucap Ninis.