Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta semua pihak untuk menunggu proses hukum yang tengah berlangsung terkait kasus dugaan penyelewengan kewenangan di proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Ia mengatakan pemerintah menempuh langkah hukum terkait kasus itu setelah melalui pertimbangan mendalam dan komprehensif sampai akhirnya dilakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT), bukan hanya audit reguler oleh BPKP.
"Hasilnya, ditemukan terjadi dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan, yang kemudian merugikan keuangan negara dan berpotensi akan terus merugikan keuangan negara," kata Mahfud dalam keterangannya, Senin (17/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan, pemerintah sebelumnya telah membayar gugatan Avanti sebesar Rp515 miliar berdasarkan putusan Arbitrase di London pada tahun 2019.
Lalu pada tahun ini, pemerintah menerima tagihan lagi sebesar 21 juta USD berdasarkan putusan Arbitrase Singapura, atas gugatan Navayo.
Padahal, kata dia, berdasar hasil audit yang dilakukan BPKP ternyata barang yang diterima dari Navayo sebagian besar diduga selundupan, karena tidak ditemukan dokumen Pemberitahuan Impor Barang di Bea Cukai.
"Sedangkan barang yang dilengkapi dengan dokumen hanya bernilai sekitar Rp1,9 miliar sekitar 132.000 USD," katanya.
Ia mengaku menghargai pendapat yang disuarakan oleh berbagai pihak, dengan segala pro dan kontranya.
"Saat ini kita ikuti saja proses hukum yang sedang berlangsung, sesuai dengan ketentuan hukum. Untuk sampai pada proses hukum ini kita sudah membahas dengan berbagai pihak terkait, bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali," ujar mantan Hakim Konstitusi tersebut.
Di sisi lain, ia juga mengatakan pemerintah telah dan akan tetap melakukan upaya-upaya maksimal untuk menyelamatkan satelit orbit 123 untuk kepentingan pertahanan negara.
"Selama proses penyelesaian kontrak-kontrak dengan berbagai pihak, Pemerintah berhasil memperpanjang masa berlaku orbit satelit pada tahun 2018 di sidang International Telecommunication Union (ITU)," katanya.
Sebagai informasi, kasus ini berkaitan dengan kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015. Kontrak ini dilakukan kendati penggunaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur dari Kemkominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.
Namun pihak Kemenhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kemenkominfo. Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan ternyata belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
Proyek pengadaan Satelit Kemenhan yang tengah diusut Kejagung terjadi di masa menteri pertahanan Ryamizard Racudu. Hingga hari ini, Senin (17/1), belum ada rencana Kejagung memeriksa pensiunan jenderal bintang empat TNI AD tersebut.
Pada Jumat (14/1) lalu, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Ardiansyah menyebut pihaknya memang masih belum memintai keterangan Ryamizard terkait proyek pengelolaan satelit dengan nama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) yang terjadi pada 2015 silam.
"Belum (diperiksa)," ujarnya dalam konferensi pers, di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat.
Meskipun begitu, ia menegaskan, pihaknya akan tetap bersikap profesional dalam proses penyidikan tersebut. Jaksa penyidik, kata dia, akan memanggil siapapun yang dinilai terlibat sesuai bukti yang telah didapatkan.
"Kita tidak melihat posisinya, tapi bagi orang-orang yang perlu dimintai keterangan dalam penyidikan dan itu korelasinya untuk pembuktian, maka akan kita lakukan pemeriksaan," tuturnya.
Sementara itu pada Senin, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Supardi mengatakan pengadaan tersebut dilakukan kuasa pengguna anggaran (KPA) di bawah menteri yang saat itu menjabat. Hal tersebut ditegaskan apakah proyek itu menjurus pula kepada menteri kala itu.
"KPA lah, masa menteri teken kayak itu. Level menteri kan MOU (Memorandum of Understanding)," kata Supardi saat dikonfirmasi, Senin (17/1).
Ia menyebutkan bahwa dalam pengadaan proyek yang berlangsung pada 2015 itu memang terdapat MOU Menteri dengan sejumlah lembaga terkait. Namun demikian, kontrak-kontrak di luar perjanjian itu diteken oleh pejabat berwenang lain.
Penyidik, kata Supardi, masih melakukan penelusuran dan pendalaman terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan perjanjian pengadaan tersebut. Menurutnya, semua pihak akan dimintai pertanggungjawabannya jika memang bersalah.
"Nanti kami lihat. Apakah di atasnya ada apa tidak. Siapa yang bertanggungjawab, semuanya nanti. Itu baru tataran awal," tambah dia.
Hingga akhir pekan lalu, terkait kasus satelit yang kini sudah naik penyidikan, Kejagung telah memeriksa 11 saksi.
Diketahui, permasalahan proyek ini berawal ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur guna membangun Satkomhan.
Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015. Kontrak ini dilakukan kendati penggunaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur dari Kemkominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.
Namun pihak Kemenhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kemenkominfo. Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan ternyata belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.