KY Buka Suara Terkait Vonis Pidana Nihil Heru Hidayat di Kasus Asabri

CNN Indonesia
Rabu, 19 Jan 2022 13:59 WIB
Komisi Yudisial akan mempelajari lebih lanjut putusan hakim atas pidana nihil yang dijatuhkan terhadap Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi di PT ASABRI.
Lobi kantor Komisi Yudisial, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Djonet Sugiarto)
Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi Yudisial (KY) mengimbau agar seluruh pihak menghormati putusan pidana nihil yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kepada terdakwa kasus korupsi di PT ASABRI, Heru Hidayat.

Juru Bicara KY, Miko Ginting, menjelaskan yang dimaksud menghormati adalah apabila tidak puas dengan substansi putusan hakim, agar pihak-pihak terkait melakukan upaya hukum yang tersedia.

"Saya kira Kejaksaan Agung dalam hal ini mewakili publik untuk melakukan atau tidak melakukan upaya hukum [banding]. Begitu juga, terdakwa dan penasihat hukumnya, juga dijamin haknya untuk mengajukan upaya hukum. Intinya, jalur untuk mengkontes substansi putusan adalah melalui upaya hukum," ujar Miko kepada wartawan melalui keterangan tertulis, Rabu (19/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Miko memahami vonis hakim terhadap Heru menimbulkan perdebatan hukum terkait apakah seseorang yang sebelumnya telah dijatuhi pidana seumur hidup harus tetap dicantumkan pidana yang sama atau tidak alias nihil.

Ia menjelaskan telah diatur dalam KUHAP menyatakan suatu putusan harus memuat pemidanaan jika terdakwa dinyatakan bersalah. Di sisi lain, lanjut Miko, jika dicantumkan, akan ada dua pemidanaan seumur hidup dari dua putusan berbeda.

"Saya kira ini area para pakar dan pengamat hukum pidana untuk memberikan pendapat," ucap Miko.

"Area Komisi Yudisial adalah dengan terbuka apabila dipandang ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Selain itu, Komisi Yudisial akan mempelajari lebih lanjut putusan yang dimaksud beserta hal-hal lain yang muncul dalam pemeriksaan di persidangan," sambungnya.

Dugaan Masuk Angin

Di satu sisi, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono, berpendapat putusan pidana nihil sulit diterima akal sehat.

Dalam hal ini ia membandingkan kasus pertama Heru yakni korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara sebesar Rp12,6 triliun. Heru divonis penjara seumur hidup dalam kasus ini. Sementara dalam sidang putusan kasus korupsi di PT ASABRI dengan kerugian negara Rp22,7 triliun pada Selasa (18/1) lalu, Heru divonis dengan pidana nihil.

"Logika sederhananya, jika perkara pertama telah diputus seumur hidup, seharusnya untuk perkara kedua yang nilai korupsinya jauh lebih besar, harusnya diputus lebih berat lagi, yakni hukuman mati," kata Arief.

Ia meminta KY untuk segera memeriksa majelis hakim yang mengadili Heru di kasus korupsi PT ASABRI. Sebab, menurut dia, putusan pidana nihil sangat nyeleneh dan tidak masuk akal.

"Patut diduga bahwa majelis hakim yang menyidangkan kasus ini dipastikan sudah masuk angin sehingga memutus nihil hukuman. Karena itu, hakim-hakim yang menyidangkan kasus ini perlu diperiksa oleh Komisi Yudisial," ucap Arief.

Sebagai informasi, dalam kasus di PT ASABRI, Heru selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera divonis dengan pidana nihil. Vonis ini dijatuhkan karena Heru sudah mendapat hukuman maksimal dalam kasus sebelumnya yakni korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.

Ia juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp12,6 triliun.

Majelis hakim menolak menjatuhkan hukuman mati dengan alasan jaksa penuntut umum telah melanggar asas penuntutan dengan menuntut di luar Pasal yang didakwakan.

Dalam hal ini hakim menyoroti ketiadaan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur ancaman pidana mati dalam surat dakwaan jaksa.

Sementara Heru terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

"Surat dakwaan adalah pagar atau batasan yang jelas dalam memeriksa perkara persidangan bagi pihak-pihak. Untuk penuntut umum agar tidak melampaui kewenangan dalam menuntut terdakwa," ungkap hakim anggota, Ali Muhtarom, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa  malam lalu.

(ryn/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER