Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyindir sejumlah kebijakan pemerintah yang tak sinkron dengan pencegahan lonjakan Covid-19.
Di antaranya, pemberlakuan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen hingga penghapusan belasan daftar negara yang dilarang memasuki area Indonesia.
"Di satu sisi, pemerintah memprediksi puncak Covid-19 ini akan terjadi di Februari-Maret, tapi aktivitas nasional dan internasional terus dibuka. Di satu sisi lainnya masyarakat diminta taat prokes, tapi fasilitas umum dibuka semua tanpa batas seperti transportasi umum," kata Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mewanti-wanti pemerintah menerapkan kebijakan berbasis saintifik dan pendekatan epidemiologis. Baginya, pemerintah saat ini masih mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi. Misalnya, tidak ada pembatasan kapasitas dalam transportasi, tempat hiburan, pusat perbelanjaan, hingga wisata.
Hermawan juga mendesak agar pemerintah dalam waktu dekat menambah daftar negara yang sementara dilarang ke Indonesia guna mencegah akan penularan varian Omicron.
"Saya rasa kebijakan PTM juga harus dievaluasi kembali, karena laju kasus meningkat dan kasus Covid-19 sudah ditemukan pada anak didik serta tenaga pendidik," imbuhnya.
Tak ketinggalan, dia menyoroti pola komunikasi pemerintah. Misalnya, pernyataan Presiden Joko Widodo kemarin soal pekerja bidang non esensial work from home (WFH) yang sekadar imbauan.
Selain itu, ada pernyataan pemerintah bahwa varian Omicron tidak memperparah gejala klinis sehingga diharapkan tidak menyebabkan kematian.
Hermawan mengingatkan hal-hal tersebut mengindikasikan pandangan meremehkan terhadap Omicron. Faktanya, temuan kasus varian Omicron saat ini mayoritas menyerang usia muda dan produktif. Ia khawatir ada potensi keparahan gejala pada kelompok lansia yang tingkat vaksinasinya rendah.
"Kampanye dan komunikasi publik yang terkesan meremehkan Omicron itu juga kurang tepat," kata dia.
(mln/khr/arh)