Pasal 9 ayat 1 UU IKN mengatur soal status Kepala Otorita IKN yang diangkat langsung oleh Presiden dengan melalui konsultasi DPR.
Herdiansyah menganggap UU tersebut telah mengabaikan peran DPR dalam penujukkan pemimpin ibu kota baru. Sebab, frase "konsultasi" dalam pasal tersebut hanya bersifat masukan. Artinya, kata dia, presiden boleh mendengar atau pun tidak, hasil masukan dari DPR soal pemimpin ibu kota baru.
Pasal 9 ayat 1, kata Herdiansyah menunjukkan pemerintah semakin ingin membentuk pemerintahan sentralistik di IKN Nusantara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu yang kita anggap tetap bertumpu pada desain sentralistik dalam UU ini. Jadi fungsi kontrol setidaknya di DPR itu jadi dinihilkan," kata dia.
Begitupula di pasal berikutnya, pasal 10 soal pemberhentian Kepala Otorita IKN. Herdiansyah menilai pasal tersebut tak konsisten sebab presiden justru memiliki wewenang penuh dalam memberhentikan Kepala Otorita IKN tanpa konsultasi DPR.
Sementara, masih di pasal yang sama, UU IKN justru tak mengatur maksimal masa jabatan kepala Otorita IKN. Menurut Herdiansyah, tak ada ketentuan di UU IKN yang mengatur masa jabatan Kepala Otorita.
Lihat Juga : |
Ia khawatir ketentuan maksimal masa jabatan yang tidak diatur hanya akan membuka potensi lahirnya otoritarianisme. Menurut dia, pemerintah tidak belajar pada 32 tahun kepemimpinan orde baru yang pada akhirnya memicu kemarahan masyarakat lewat reformasi.
"Jadi kritik kami ketiadaan pembatasan masa kekuasaan untuk kepala otorita itu akan menjadi problem. Itu menandakan ada desain sentralistik yang sedang coba ditanamkan dalam RUU," kata dia.
Pasal 24 ayat 1 mengatur soal mekanisme pembiayaan selama proses pemindahan dan pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan Timur. Pasal itu menyebut dua sumber pembiayaan pembangunan IKN berasal dari APBN dan sumber lain yang sah.
Herdiansyah mengkritik pasal tersebut karena tak membatasi sumber pembiayaan dari luar APBN. Padahal mestinya, kata dia, di luar pembiayaan APBN, sumber dari swasta harus diatur dengan jelas.
Ia khawatir ketiadaan pembayaran hanya melahirkan praktik transaksaksional antara pemerintah dengan para pengusaha. Terlebih, pembiayaan IKN Nusantara akan melawan biaya tak sedikit hingga lebih dari Rp466 triliun.
"Jadi kalau kontribusi swasta sampai 90 persen tidak mungkin dia hanya investasi tanpa ada imbal balik," katanya.