Baleg DPR Mulai Revisi UU PPP untuk Akomodasi Metode Omnibus Law

CNN Indonesia
Kamis, 03 Feb 2022 02:17 WIB
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memulai penyusunan revisi UU PPP untuk memasukkan ketentuan mengenai penyusunan regulasi dengan metode omnibus law.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memulai penyusunan revisi UU PPP untuk memasukkan ketentuan mengenai penyusunan regulasi dengan metode omnibus law. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memulai penyusunan revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP) untuk memasukkan ketentuan mengenai penyusunan regulasi dengan metode omnibus law.

Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa revisi UU PPP ini sesuai dengan pendapat para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan uji materi alias judicial review UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja (Ciptaker).

"Jadi ini hanya soal penegasan, satu, menyangkut soal metode omnibus law. Tidak sekadar hanya menampung terhadap yang menjadi putusan MK, karena putusan MK terkait putusan omnibus law itu tidak ada amarnya satu pun, tetapi wajib kita untuk mempertimbangkan pendapat hukum dari masing-masing hakim MK," kata Supratman dalam rapat pleno Baleg DPR, Rabu (2/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul menyampaikan revisi UU PPP diperlukan untuk mengakomodir metode omnibus lae sebagai salah satu metode pembentukan perundang-undangan.

"UU PPP belum mengadopsi tentang metode omnibus sementara dalam praktik ketatanegaraan membutuhkan suatu metode yang bisa memperbaiki banyak undang-undang melalui satu UU," ujarnya.

Inosentius mengakui, revisi UU PPP perlu segera dilakukan karena berkaitan erat dengan perbaikan UU Ciptaker yang dinyatakan konstitusional bersyarat.

Sebagai informasi, MK menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat pada November 2021 silam. UU Ciptaker dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Hakim MK pun meminta pemerintah memperbaiki UU Ciptaker dalam kurun waktu dua tahun.

"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,'" kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, 25 November lalu.

Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai tata cara pembentukan UU Ciptaker tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kendati begitu, empat hakim menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Keempat hakim itu yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan Daniel Yusmic. Keempatnya berpendapat bahwa permohonan judicial review UU Ciptaker seharusnya ditolak.

Dalam pertimbangannya, Arief dan Anwar mengatakan, kendati dalam pembentukannya memiliki kelemahan dari sisi format dan teknis, tapi penggabungan atau metode omnibus law menurutnya dibutuhkan sistem hukum Indonesia.

Menurut mereka, tidak ada yang keliru dalam pembentukan UU Ciptaker dengan metode omnibus law.

(mth/agn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER