Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan penolakan dari purnawirawan TNI dan Polri untuk dimintai keterangan membuat penyelesaian kasus tragedi penembakan misterius (petrus) mandek hingga kini.
Dalam proses penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada medio 1982-1985 itu, Komnas HAM telah meminta keterangan dari 115 orang. Dari jumlah itu, pihak yang dimintai keterangan dari TNI dan Polri masing-masing berjumlah dua orang.
"Memang ada kendala. Pertama, penolakan dari purnawirawan TNI dan Polri untuk memenuhi panggilan Komnas untuk memberikan keterangan," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam diskusi daring, Kamis (3/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendala lainnya, intimidasi terhadap korban yang hendak memberikan keterangan. Beka mengakui, sulit meyakinkan korban untuk memberikan keterangan. Sebab, korban yang berani buka suara mendapat intimidasi dari aparat.
"Kalau pun sudah berani memberikan keterangan, ada intimidasi yg membuat susah bahkan urung memberikan keterangan," ucap dia.
Sebagai informasi, Beka menjelaskan, tragedi Petrus ini memakan banyak korban. Ia meyakini, jumlah korban mencapai 3 ribu orang.
"Ada yang bilang 3 ribu, 2 ribu, tapi juga ini jumlah yang saya kira bisa jadi lebih banyak karena identifikasi-identifikasinya atau kemudian penguburannya," kata dia.
"Penghilangannya itu juga sangat banyak. Sehingga saya yakin korbannya lebih dari 3 ribu orang," imbuhnya.
Terkait upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu, Komnas HAM telah membentuk tim Ad Hoc pada 2008. Pembentukan tim itu berdasarkan persetujuan DPR dengan mengacu pada UU 26 tahun 200p terkait pengadilan HAM.
"Mekanismenya, soal ada pengadilan ham untuk perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah tahun 2000. Itu istilahnya pelanggaran hak, kemudian pengadilan hak ad hoc untuk perkara2 pelanggaran hak yang terjadi sebelum tahun 2000," jelas dia.
Namun, kata Beka, sampai saat ini penyelesaian belum tuntas. Ia menyebut korban belum mendapat keadilan, bahkan permintaan maaf dari para pelaku
"Dan soal pertanggung jawaban yang saat ini masih nihil," ucapnya.
Diketahui, pemerintah sudah mengantongi daftar 13 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dari 13 kasus, sebanyak 9 kasus terjadi sebelum tahun 2000 dan 4 kasus terjadi setelah 2000. Termasuk kasus Paniai, Papua.
Pemerintah mengklaim hanya bisa menyelesaikan empat kasus pelanggaran HAM. Sebab mengacu pada UU Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 tentang Pengadilan HAM dikatakan bahwa kejahatan HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bisa diadili Pengadilan HAM Ad Hoc.
Menkopolhukam Mahfud MD menerangkan jenis pengadilan tersebut dibentuk atas usulan dari DPR. Kemudian, dari empat pelanggaran HAM berat yang terjadi di atas tahun 2000, baru satu yang masuk ke tahap penyidikan di Kejaksaan Agung, yakni peristiwa Painai berdarah.
Paniai berdarah merupakan insiden yang terjadi pada 8 Desember 2014. Kala itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.