Puluhan tahun tergenang air tak membuat wilayah itu bebas dari luapan tambahan. Ketika musim penghujan tiba, Rudi mengungkapkan banjir tetap menyambangi warga dengan ketinggian variatif, bisa 30 sampai 60 Cm tergantung intensitas hujan.
"Kalau udah gitu enggak bisa ngapa-ngapain. Motor enggak bisa lewat, belum lagi ada kemungkinan jatuh dari jembatan karena batasnya jadi nyaru," jelasnya.
Bak hidup di tengah lautan, air yang berlimpah itu tak bisa digunakan untuk keseharian dan sanitasi dasar. Air dari sumur milik warga sudah kotor dan tak layak konsumsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu hanya bisa digunakan untuk mencuci dan mandi oleh warga. Untuk kebutuhan memasak dan air minum, warga mesti membelinya dengan menggunakan jeriken.
Lihat Juga : |
"Itu yang cuma untuk makan dan minum ya, kalau yang untuk mandi dan cuci-cuci pasti lebih dari [Rp6.000] itu," aku dia.
Rudi menceritakan total pemakaian air bersih di keluarganya mencapai delapan jeriken per pekan. Untuk satu kali pikul--dua jeriken--Rudi harus merogoh kocek Rp6.000.
Sementara, jaringan air bersih milik pemerintah pun tidak pernah sampai kepada warga Kampung Teko.
Menurut Rudi, warga sudah sempat mengajukan permohonan pemasangan jaringan air bersih ke Kampung Teko. Namun, permohonan tersebut urung terealisasi karena dinilai sulit untuk melakukan instalasi pipa air bersih sampai ke rumah-rumah warga.
"Ya semoga aja dengan adanya rencana pembangunan jembatan permanen jadi lebih mudah akses ke depannya," harap Rudi.
Lihat Juga :![]() LIPUTAN KHUSUS Benteng Rapuh Warga Pesisir Jakarta Hadang Banjir Rob |
Rudi paham betul kondisi permukimannya yang unik ini sangat strategis bagi para politisi untuk meraih simpati publik. Ia mengungkap lokasi ini pernah menjadi salah satu titik kunjungan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat kampanye Pilkada di 2012.
Namun demikian, sampai saat ini Kampung Apung masih belum juga menapak di tanah seperti sedia kala.
"Sekarang sudah sampai bosan kalau ditanya A sampai Z soal Kampung Teko atau Kampung Apung ini. Berulang kali pejabat sama wartawan datang, tapi ya sama aja, enggak ada perubahan," ujarnya getir.
Pelbagai kunjungan itu membuat masyarakat di Kampung Teko belajar untuk tidak menggantungkan nasibnya di tangan para pejabat. Terlebih, kata Rudi, selama ini masyarakat terbiasa mandiri mencari solusi.
Lihat Juga : |
Sejak kampung mereka terendam, Rudi mengatakan warga tidak hanya duduk diam berpangku tangan. Sejumlah fasilitas umum, seperti jalan, jembatan beton, hingga sarana Mandi, Cuci, Kakus (MCK) menjadi kerja kolektif masyarakat yang dibantu pendanaan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sejak 2007.
Bersamaan dengan itu, warga mulai membangun kolam-kolam lele di lahan yang kadung terendam air.
"Itu jembatan bambu di belakang juga hasil urunan warga, biar ada akses jalan lain. Udah ngajuin pembangunan jembatan permanen ke SDA (Dinas Sumber Daya Air) dari akhir 2020, tapi sampai saat ini prosesnya baru sebatas survei," ujarnya.
"Mudah-mudahan dalam waktu dekat atau beberapa bulan ke depan, bakal ada jembatan permanen juga di daerah belakang," imbuhnya.
Menurut Rudi, sejatinya apa yang dicita-citakan warga Kampung Teko tidak terlampau muluk. Masyarakat, kata dia, hanya meminta bantuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengeringkan air yang sudah lama merendam wilayah tersebut.
![]() |
Selain itu, warga ingin permukaan tanah di Kampung Teko disetarakan dengan lingkungan sekitarnya.
Pada 2013, ketika Jokowi dan Ahok pertama kali menjabat di DKI, genangan di Kampung Teko sempat dikeringkan. Namun, tidak ada tindak lanjut dari Pemprov DKI Jakarta usai melakukan pengeringan tersebut.
"Hasilnya, kurang lebih enam bulan kemudian Kampung Teko kembali menjadi Kampung Apung. Tidak ada proses peninggian, ya air ketampung lagi. Padahal usaha kolam lele yang ada saat itu sudah sampai bangkrut [karena pengeringan]," ujarnya.
Upaya penyedotan dan pengeringan tersebut, kata Rudi, tercatat menjadi langkah pertama sekaligus langkah terakhir yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi persoalan genangan air tersebut.
Lihat Juga :![]() LIPUTAN KHUSUS Jakarta Tenggelam: Air Laut Naik atau Muka Tanah Turun? |
"Makanya kami minta kalau emang enggak bisa dibangun atau ditinggiin karena makam, dikeringkan dulu. Kemudian dibuat batas, mana tanah makam mana yang hak milik, biar kami bisa ninggiin wilayah pemukimannya," pinta Rudi.
Saat itu, kata dia, pemerintah mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan pengurukan lantaran tanah makam di Kampung Teko berstatus wakaf, bukan milik Pemprov. Meskipun diakui pemerintah, lahan pemukiman warga berdiri di atas sertifikat hak milik.
"Jadi kalau nanti kerendem cukup di wilayah bekas makam saja, permukimannya enggak. Kalau cuma bisa saranin pindah mah kita juga maunya begitu kalau memang bisa," sambungnya.
Kampung Teko ini adalah contoh bagaimana kawasan tanah yang lebih rendah di banding daerah sekitarnya bisa 'hilang' terendam air. Apalagi kawasan yang rendah ini disertai dengan tak adanya sistem drainase. Seperti diketahui, penurunan permukaan tanah di Jakarta disebut jadi salah satu faktor ancaman Jakarta bisa tenggelam.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi mengaku masih mencari data soal penanganan air di wilayah ini.
"Kampung teko yg mana ya? Ini yang kapan? Saya cari data dulu," ucapnya, lewat keterangan tertulis.
(tfq/arh)