Jakarta, CNN Indonesia --
Maksum (62), dirundung trauma melihat genangan air yang mengepung rumahnya di Kampung Teko alias Kapuk Teko alias Kampung Apung, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, selama lebih dari 30 tahun.
Sepuluh tahun lalu, si bungsu meninggal usai jatuh dari rumah dan tenggelam di genangan air.
"Kalau masih ada, sekarang umurnya sudah 14 tahun. Mungkin dia sudah SMP kelas satu atau kelas dua," katanya lirih saat ditemui di Kampung Teko, Senin (25/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat kejadian itu, ia sempat kembali ke kota asalnya, Magelang, Jawa Tengah. Namun itu tak lama. Pekerja serabutan ini memutuskan untuk kembali ibu kota, menyambung hidup di Kampung Teko.
Pada akhirnya Maksum memilih untuk legawa dan menjalani sisa hidupnya di rumah apung tersebut. Walaupun Maksum sadar, tidak mudah untuk bertahan hidup di kampung yang seolah berada di atas air itu.
Ketua RT setempat, Rudi Suwandi (51), mengakui kebanyakan warga memutuskan untuk tetap bertahan di Kampung Teko lantaran tak punya pilihan lain. Mayoritas warga kampung tergolong miskin sehingga sulit untuk bermimpi pindah ke luar kampung.
Di sisi lain, mustahil untuk menjual sepetak lahan di Kampung Teko dengan harga normal. Alhasil warga kebanyakan bertahan meskipun harus merenovasi rumah secara berkala agar tetap dapat "mengapung" di Kampung Teko.
"Ya mending gitu lah, ini rumah saya hasil renovasi. Udah enggak jadi rumah panggung lagi, bawahnya udah ditimbun pake lumpur galian SDA (Dinas Sumber Daya Air) sampe dasar. Rumah adik saya juga lagi diproses timbun gitu," tuturnya.
"Abis nungguin pemerintah mah lama, mending sendiri aja. Kalau udah beres, saya niatnya mau nimbun galian atau lumpur di belakang biar jadi tempat main anak-anak. Mimpi aja dulu," sindirnya.
Mulanya Asri
Kampung Teko adalah wilayah seluas sekitar 3 hektare yang persis berada di pinggir Jalan Kapuk Raya, RT 01/RW 02 Kelurahan Kapuk. Lokasinya yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya membuat air betah berlama-lama bersama warga hingga berpuluh tahun.
Sebuah jembatan beton sepanjang 20 meter merupakan jalan utama yang menghubungkan antara Kampung Apung dengan 'daratan'. Ukuran jalannya sempit, hanya cukup dilintasi dua orang dewasa secara berbarengan.
Mayoritas bangunan dibuat dengan model rumah panggung. Jika melongok ke bawah rumah warga, genangan air sedalam 2 meter yang dipenuhi alga hijau menyambut.
Sepintas, memasuki wilayah Kampung Teko terasa familiar dengan permukiman warga yang berada di deretan sungai di Kalimantan.
Ketika itu, banjir menjadi kosakata yang asing di telinga warga lantaran secara geografis kampung ini memang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Warga pun masih memiliki lapangan tempat bermain sepak bola atau badminton.
Jiih (57), tokoh masyarakat setempat, menyebut warga bukannya dengan sengaja membangun permukiman di atas air. Pada 1970-an, kawasan ini tak ubahnya permukiman lain yang terkenal asri laiknya "kawasan Pondok Indah".
Di sekeliling kampung, sawah dan saluran irigasi atau drainase alami mengalirkan air menuju Kali Angke. Terdapat pula area pemakaman warga di salah satu sudut Kampung Teko.
"Singkatnya, dulu kami semua tinggal di sini masih menapak di tanah kayak warga yang lain. Mereka yang di luar justru saat itu mengungsi ke Kampung Teko," jelasnya, saat ditemui CNNIndonesia.com di kampung tersebut, Selasa (25/1).
Keasrian itu perlahan sirna ketika kompleks pergudangan pertama kali dibangun di sekitar Kampung Teko sekitar 1986 dengan dalih 'kemajuan' dan 'perkembangan industri'.
Jiih ingat betul bahwa untuk menopang 'pembangunan' kawasan industri tersebut, pemerintah juga terus melakukan peninggian muka Jalan Kapuk Raya.
Kondisi itulah yang kemudian membalikkan keadaan Kampung Teko dari yang tadinya lebih tinggi ketimbang daerah lainnya menjadi daerah cekungan yang justru menampung air dari wilayah sekitar.
Masyarakat sempat mencoba mengikuti ritme pembangunan tersebut dengan ikut meninggikan wilayah permukiman. Hanya saja, usaha itu tidak sebanding dengan pembangunan yang dilakukan oleh industri.
"Namanya juga ngelawan orang yang punya duit susah. Kita di sini baru ninggiin 10 Sentimeter, sementara dia (industri) sudah sampai 1 meter. Kanan-kiri tinggi duluan, akhirnya airnya jadi ke sini," kisahnya.
Sejak itu, Kampung Apung mulai digenangi air mulanya setinggi 30 Sentimeter dan surut dalam tempo tiga sampai empat pekan.
Pembangunan itu juga membuat daerah resapan air untuk irigasi sawah milik warga dan saluran air yang menuju Kali Angke menjadi tertimbun. Durasi penyerapan dan penyaluran air yang tergenang di pemukiman warga menjadi kian lambat.
Lama-kelamaan, debit air semakin bertambah dan proses pengeringan air kian panjang. Sampai akhirnya, genangan tersebut menetap di kawasan itu hingga kini. Warga Kampung Teko pun belajar bertahan hidup tanpa menapakkan kaki di permukaan tanah.
"Pada saat itu, warga mulai menguruk tanah di sekitarnya dan rumah-rumah mulai ditopang kayu menyerupai panggung. Mulai lah berubah dari Kapuk Teko jadi Kampung Apung," ujarnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Puluhan tahun tergenang air tak membuat wilayah itu bebas dari luapan tambahan. Ketika musim penghujan tiba, Rudi mengungkapkan banjir tetap menyambangi warga dengan ketinggian variatif, bisa 30 sampai 60 Cm tergantung intensitas hujan.
"Kalau udah gitu enggak bisa ngapa-ngapain. Motor enggak bisa lewat, belum lagi ada kemungkinan jatuh dari jembatan karena batasnya jadi nyaru," jelasnya.
Bak hidup di tengah lautan, air yang berlimpah itu tak bisa digunakan untuk keseharian dan sanitasi dasar. Air dari sumur milik warga sudah kotor dan tak layak konsumsi.
Itu hanya bisa digunakan untuk mencuci dan mandi oleh warga. Untuk kebutuhan memasak dan air minum, warga mesti membelinya dengan menggunakan jeriken.
"Itu yang cuma untuk makan dan minum ya, kalau yang untuk mandi dan cuci-cuci pasti lebih dari [Rp6.000] itu," aku dia.
Rudi menceritakan total pemakaian air bersih di keluarganya mencapai delapan jeriken per pekan. Untuk satu kali pikul--dua jeriken--Rudi harus merogoh kocek Rp6.000.
Sementara, jaringan air bersih milik pemerintah pun tidak pernah sampai kepada warga Kampung Teko.
Menurut Rudi, warga sudah sempat mengajukan permohonan pemasangan jaringan air bersih ke Kampung Teko. Namun, permohonan tersebut urung terealisasi karena dinilai sulit untuk melakukan instalasi pipa air bersih sampai ke rumah-rumah warga.
"Ya semoga aja dengan adanya rencana pembangunan jembatan permanen jadi lebih mudah akses ke depannya," harap Rudi.
Janji Manis Politikus
Rudi paham betul kondisi permukimannya yang unik ini sangat strategis bagi para politisi untuk meraih simpati publik. Ia mengungkap lokasi ini pernah menjadi salah satu titik kunjungan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat kampanye Pilkada di 2012.
Namun demikian, sampai saat ini Kampung Apung masih belum juga menapak di tanah seperti sedia kala.
"Sekarang sudah sampai bosan kalau ditanya A sampai Z soal Kampung Teko atau Kampung Apung ini. Berulang kali pejabat sama wartawan datang, tapi ya sama aja, enggak ada perubahan," ujarnya getir.
Pelbagai kunjungan itu membuat masyarakat di Kampung Teko belajar untuk tidak menggantungkan nasibnya di tangan para pejabat. Terlebih, kata Rudi, selama ini masyarakat terbiasa mandiri mencari solusi.
Sejak kampung mereka terendam, Rudi mengatakan warga tidak hanya duduk diam berpangku tangan. Sejumlah fasilitas umum, seperti jalan, jembatan beton, hingga sarana Mandi, Cuci, Kakus (MCK) menjadi kerja kolektif masyarakat yang dibantu pendanaan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sejak 2007.
Bersamaan dengan itu, warga mulai membangun kolam-kolam lele di lahan yang kadung terendam air.
"Itu jembatan bambu di belakang juga hasil urunan warga, biar ada akses jalan lain. Udah ngajuin pembangunan jembatan permanen ke SDA (Dinas Sumber Daya Air) dari akhir 2020, tapi sampai saat ini prosesnya baru sebatas survei," ujarnya.
"Mudah-mudahan dalam waktu dekat atau beberapa bulan ke depan, bakal ada jembatan permanen juga di daerah belakang," imbuhnya.
Menurut Rudi, sejatinya apa yang dicita-citakan warga Kampung Teko tidak terlampau muluk. Masyarakat, kata dia, hanya meminta bantuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengeringkan air yang sudah lama merendam wilayah tersebut.
 Infografis Menelisik Pergerakan Konsumsi Air tanah dan PAM. (Foto: Astari Kusumawardhani) |
Selain itu, warga ingin permukaan tanah di Kampung Teko disetarakan dengan lingkungan sekitarnya.
Pada 2013, ketika Jokowi dan Ahok pertama kali menjabat di DKI, genangan di Kampung Teko sempat dikeringkan. Namun, tidak ada tindak lanjut dari Pemprov DKI Jakarta usai melakukan pengeringan tersebut.
"Hasilnya, kurang lebih enam bulan kemudian Kampung Teko kembali menjadi Kampung Apung. Tidak ada proses peninggian, ya air ketampung lagi. Padahal usaha kolam lele yang ada saat itu sudah sampai bangkrut [karena pengeringan]," ujarnya.
Upaya penyedotan dan pengeringan tersebut, kata Rudi, tercatat menjadi langkah pertama sekaligus langkah terakhir yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi persoalan genangan air tersebut.
"Makanya kami minta kalau emang enggak bisa dibangun atau ditinggiin karena makam, dikeringkan dulu. Kemudian dibuat batas, mana tanah makam mana yang hak milik, biar kami bisa ninggiin wilayah pemukimannya," pinta Rudi.
Saat itu, kata dia, pemerintah mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan pengurukan lantaran tanah makam di Kampung Teko berstatus wakaf, bukan milik Pemprov. Meskipun diakui pemerintah, lahan pemukiman warga berdiri di atas sertifikat hak milik.
"Jadi kalau nanti kerendem cukup di wilayah bekas makam saja, permukimannya enggak. Kalau cuma bisa saranin pindah mah kita juga maunya begitu kalau memang bisa," sambungnya.
Kampung Teko ini adalah contoh bagaimana kawasan tanah yang lebih rendah di banding daerah sekitarnya bisa 'hilang' terendam air. Apalagi kawasan yang rendah ini disertai dengan tak adanya sistem drainase. Seperti diketahui, penurunan permukaan tanah di Jakarta disebut jadi salah satu faktor ancaman Jakarta bisa tenggelam.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi mengaku masih mencari data soal penanganan air di wilayah ini.
"Kampung teko yg mana ya? Ini yang kapan? Saya cari data dulu," ucapnya, lewat keterangan tertulis.