Kejagung Timbang Kasus Dugaan Korupsi BPJS Naker dan Jiwasraya-ASABRI

CNN Indonesia
Kamis, 17 Feb 2022 14:52 WIB
Kejaksaan Agung belum memutuskan sikap terkait kelanjutan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan.
Kejaksaan Agung belum memutuskan sikap terkait kelanjutan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan. (CNN Indonesia/ Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kejaksaan Agung belum memutuskan sikap terkait kelanjutan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan. Kasus itu telah disidik sejak Januari 2021.

Meski demikian, penyidik menyebutkan bahwa kerugian yang terjadi akibat pengelolaan investasi di perusahaan pelat merah tersebut tak seperti apa yang dialami oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT ASABRI (Persero).

"Beda kayak yang di AJS, ASABRI. Itu kan ada pihak tertentu, ini (BPJS Naker) normal," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Supardi kepada wartawan, Kamis (17/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI, Kejagung menetapkan jajaran direksi serta pihak swasta sebagai tersangka lantaran berkongkalikong dalam pengelolaan investasi perusahaan pelat merah tersebut hingga mengakibatkan kerugian triliunan rupiah.

Menurutnya, sejauh ini penyidik masih belum dapat menyimpulkan apakah ada tersangka yang dijerat dalam perkara ini.

Pasalnya, kata dia, dari hasil analisis keuangan sementara menyatakan bahwa kerugian akibat pengelolaan dana tersebut masih bersifat unrealized loss atau belum terealisasi. Artinya, portofolio investasi masih negatif dan belum berbentuk kerugian nyata.

Adapun, kata dia, dana investasi yang dikelola oleh BPJS Naker berasal dari beberapa sumber, termasuk iuran peserta Jaminan Hari Tua (JHT) yang menjadi polemik belakangan ini. Selain itu, sumber lainnya untuk kegiatan investasi perusahaan asuransi pelat merah itu adalah iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pensiun (JP), dan aset BPJS Naker.

"Yang namanya investasi segitu banyak kan, mungkin ya, dari berbagai sumber di sana. Ada iuran karyawan, iuran wajib, saya enggak tahu ya. Tapi intinya bahwa ada investasi," jelasnya.

Supardi mengatakan penyidik masih menunggu hasil analisis keuangan secara utuh yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Hingga saat ini, belum diketahui secara rinci mengenai konstruksi perkara dugaan korupsi yang tengah disidik oleh Kejaksaan itu. Meskipun perkara telah naik penyidikan, di mana terdapat dugaan pelanggaran pidana yang ditemukan Korps Adhyaksa dalam kasus tersebut.

Sebagai informasi, kasus ini masih bergulir di tengah polemik kebijakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang membuat pencairan dana dari program Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dilakukan pada usia pensiun 56 tahun.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI yang digelar pada 15 September 2021 lalu, Direktur Investasi BPJS Ketenagakerjaan Edwin Michael Ridwan mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu payung hukum untuk memangkas kerugian (cut loss) dalam portofolio investasi agar tak masuk ranah kerugian negara atau korupsi.

Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan masih negatif Rp32,8 triliun per Juli 2021. Nilai tersebut disebabkan unrealized loss penurunan kinerja saham yang diinvestasikan akibat pandemi Covid-19.

(mjo/pmg)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER