Pemerintahan Jokowi juga dinilai gagal memberikan rasa aman dan solusi atas permasalahan di Papua.
"Konflik bukan semakin mereda justru semakin membesar ditandai dengan merambahnya konflik kekerasan bersenjata ke wilayah-wilayah baru. Sebaliknya solusi dialog, meski dijanjikan Jokowi sejak 2016, hingga kini realisasinya masih jauh panggang dari pada api," kata dia.
Bidang politik, Jokowi tak luput dari kritik. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin melihat kondisi politik saat ini membutuhkan koreksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintahan Jokowi dinilai masih belum aspiratif terhadap keinginan masyarakat. Salah satunya tercermin dari sejumlah produk undang-undang (UU).
"Misal UU Ibu Kota Negara di mana banyak elemen masyarakat yang menolak aturan tersebut. Banyak yang menolak dan mengajukan gugatan ke MK dan petisi. Itu cermin demokrasi tak partisipatif," kata Ujang.
Kebebasan publik untuk berpendapat di periode pemerintahan kedua Jokowi saat ini tidak berjalan baik. Menurut Ujang masyarakat dibayangi ketakutan. Mereka sulit untuk berpendapat secara bebas karena dibayangi oleh penangkapan aparat hukum. Bayang wajah represif aparat sudah terjadi sejak lama.
Data YLBHI mencatat pada 2019, tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian saat demonstrasi sebanyak 68 kasus.
Sementara itu, penangkapan sewenang-wenang sebanyak 3.539 korban. Kemudian, penahanan sewenang-wenang 326 korban dan penyiksaan sebanyak 474 korban.
"Imparsial menyebut perilaku represif aparat ini dimaklumkan dan diwajarkan negara. "Publik tidak lagi dianggap penting oleh para elit negara," kata Hussein.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut hasil survei tingkat kepuasan publik terhadap ekonomi dan kesejahteraan sosial tak memadai dalam menangkap realitas sesungguhnya.
Kepuasan masyarakat versi survei bersifat temporer, yakni hanya pada masa ketika survei dilakukan. Sebaliknya, Bhima menilai realitas ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia di awal 2022 masih carut marut.
Ia mencontohkan pada awal 2022 lalu banyak program bantuan sosial (Bansos) bagi masyarakat yang mulai dikurangi oleh pemerintah. Belum lagi program Bansos masih banyak permasalahan, terutama soal pendataan yang belum valid hingga penyaluran belum tepat sasaran.
"Masyarakat memandang pemerintah punya banyak jaminan sosial dan bansos selama masa pandemi. Cuma pada 2022 hasilnya bisa berbeda. Karena bansos mulai banyak dikurangi dan dipangkas," kata Bhima.
Menurut Bhima masyarakat juga mengalami tekanan daya beli pada awal 2022. Ia mencontohkan harga bahan pokok naik dan langka di pasar. Belum lagi terkait protes perubahan aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT).
"Jadi [pemerintah] enggak bisa berbesar hati. Kepuasan di bidang kesejahteraan sosial tinggi hanya temporer. Kondisi 2022 juga masih marak varian omicron dan dari masyarakat pemulihan ekonomi tak merata," kata dia.
(rzr/wis)