Jakarta, CNN Indonesia --
Angota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demorkasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut penundaan Pemilu 2024 sebagai upaya untuk menerabas pembatasan masa perpanjangan presiden alias ingin tetap berkuasa.
Titi mengingatkan masa jabatan presiden telah diatur dalam Pasal 7 UUD 1945. Dalam aturan itu disebutkan bahwa masa jabatan selama lima tahun dan hanya bisa dipegang selama dua periode berturut-turut oleh seorang presiden yang sama.
"Tentu saja penundaan pemilu merupakan alasan untuk menerabas atau melanggar pembatasan masa jabatan yang diatur dalam Pasal 7 UUD," kata Titi dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (6/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Titi mengamini bahwa konstiitusi bisa diganti ataupun diamandemen. Namun, konstitusi itu seharusnya bukan hanya dilihat sebagai pasal semata, melainkan komutmen untuk membatasi kekuasan pemerintah melalui penyelenggaraan pemilu secara periodik.
Menurut Titi, dalam sebuah jurnal yang terbit tahun 2020, dikatakan ada lima strategi yang digunakan oleh para pemimpin politik untuk menerabas atau melawan pembatasan masa jabatan.
Dari kelima strategi itu, kata Titi, yang paling populer atau banyak digunakan oleh para pemimpin politik adalah lewat upaya penundaan pemilu.
"Strategi yang paling populer yang digunakan untuk pemimpin politik tetap berkuasa adalah dengan menunda pemilu tanpa kutip dan itu menjadi pilihan yang populer bagi kekuasaan otoritarian untuk tetap berkuasa," ujarnya.
Titi juga beranggapan bahwa upaya penundaan pemilu untuk menerabas pembatasan jabatan lebih berbahaya ketimbang wacana menambah jabatan presiden bisa tiga periode.
Sebab, jika presiden ingin meneruskan jabatan ke periode ketiga, ia mesti lebih dahulu mengikuti gelaran pemilu, di mana hasilnya bisa menang atau kalah.
Sedangkan jika lewat penundaan pemilu, maka ia bisa memperpanjang jabatannya tanpa harus mengikuti pemilu dan tanpa mendapat legitimasi dari rakyat secara langsung.
"Makanya saya sebut itu tindakan karpet merah untuk menambah masa jabatan presiden dengan menerabas pembatasan masa jabatan tanpa harus berkeringat mengikuti pemilu sehingga dia sebenarnya menjadi sesuatu yang lebih berbahaya, bahkan dibanding presiden tiga periode," kata Titi.
Lebih lanjut, Titi menegaskan bahwa tak ada satupun alasan yang bisa menjadi dasar bagi pemerintah untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
"Tidak ada alasan konstitusional, legitimasi politik dan juga pembenaran sosial untuk melakukan penundaan Pemilu 2024," ujarnya.
"Bom waktu kekacauan", berlanjut ke halaman kedua...
Sementara pakar hukum tata negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti mengatakan bahwa wacana penundaan pemilu sebagai bentuk pengkhianatan konstitusi. Penundaan ini juga dianggap menjadi bom waktu.
"Saya pakai kata yang lebih keras pengkhianatan (konstitusi) sebenarnya, kenapa, karen kita harus sadari bahwa kosntitusi itu bukan sekedar teks dan juga politik bukan sekedar matematika," kata Bivitri dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (6/3).
Bivitri menjelaskan bahwa konstitusi adalah sebuah gagasan tentang pembatasan kekuasaan. Konstitusi, lanjutnya, juga bukan sekedar teks yang bisa diubah begitu saja.
"Kita berbicara soal pembatasan kekuasaan, sekali itu dilanggar maka akan runtuh bangunan demokrasi kita," ujarnya.
Bivitri menyebut Indonesia sebagai sebuah demokrasi, mau tidak mau memang harus menyelenggarakan pemilu secara rutin sebab ini merupakan salah satu syarat bagi sebuah negara demokrasi.
Syarat lain negara demokrasi, lanjutnya, adalah soal regenerasi kepimpinan. Ini bisa dilakukan dengan menggelar pemilu secara periodik.
"Kita bicara soal jaringan politik, konfigurasi politik, bayangkan kalau ini tdak direfresh, maka keseluruhan aturan main politik hukum dan politik ekonomi dan lain sebagainya tidak akan ada perubahan, demokrasi menjadi stagnan dan tidak diinginkan dalam demokrasi yang sehat," tuturnya.
Bivitri turut menyoroti sejarah Indonesia yang tercatat juga beberapa kali telah melakukan penundaan pemilu. Hasilnya pun kata Bivitri justru menyebabkan negara menjadi kacau.
Pemilu diketahui pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955 di masa Predisen Soekarno. Pemilu selanjutnya yang mestinya dilakukan tahun 1959, ditunda pelaksanaannya dengan berbagai alasan, mulai stabilitas politik hingga soal biaya.
"Apa yang dilakukan Soekarno, membuat DPR sementara tahun 1960, terus sampai ia jatuh pada tahun 1967 resminya jatuh walaupun kita tahu ada Supersemar," kata Bivitri.
Selanjutnya, pemilu harusnya digelar tahun 1968. Namun, kala itu Presiden Soeharto baru melaksanakannya tahun 1971. Lalu, pemilu yang mestinya digelar tahun 1976, tapi baru dilaksanakan tahun 1977.
"Apa yang terjadi sesungguhnya di balik itu, ada rekayasa soal kepesertaan pemilu," kata Bivitri.
Merujuk sejarah tersebut, kata Bivitri, kebijakan untuk menunda pelaksanaan pemilu justru menjadi sebuah bom waktu. Karenanya, ia berharap agar sejarah buruk itu tak kembali diulang oleh Indonesia.
"Mengandung bom waktu tentang kekuasaan yang terlalu berlebihan sehingga akhirnya pemilu tidak pernah dilaksanakan, pemimpinnya jatuh, negaranya kacau, itu juga yang perlu dicatat sebagai suatu catatan sejarah yang jangan sampai kita ulang lagi," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh pihak, termasuk dirinya untuk tunduk, taat, dan patuh pada konstitusi terkait wacana penundaan Pemilu 2024.
"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (4/3), dikutip dari Kompas.id edisi Sabtu 5 Maret.
[Gambas:Infografis CNN]
Kendati demikian, Jokowi menegaskan, wacana menunda pemilu tidak bisa dilarang karena hal itu merupakan bagian dari demokrasi. Namun, ia menegaskan, pelaksanaan atas wacana tersebut harus tunduk pada aturan yang tertuang dalam konstitusi.
Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat," kata Jokowi.
"Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," imbuh Jokowi.
Wacana penundaan Pemilu 2024 kembali mencuat usai Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyampaikan usulan tersebut beberapa waktu lalu. Ia mengaku sudah berkeliling Indonesia dan menyerap aspirasi dari masyarakat. Hasilnya, pemulihan ekonomi imbas pandemi Covid-19 masih berjalan.
Setelahnya, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga menyampaikan mendukung usulan penundaan pemilu 2024. Secara garis besar, alasannya sama dengan Cak Imin yakni seputar pemulihan ekonomi.