Sementara pakar hukum tata negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti mengatakan bahwa wacana penundaan pemilu sebagai bentuk pengkhianatan konstitusi. Penundaan ini juga dianggap menjadi bom waktu.
"Saya pakai kata yang lebih keras pengkhianatan (konstitusi) sebenarnya, kenapa, karen kita harus sadari bahwa kosntitusi itu bukan sekedar teks dan juga politik bukan sekedar matematika," kata Bivitri dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (6/3).
Bivitri menjelaskan bahwa konstitusi adalah sebuah gagasan tentang pembatasan kekuasaan. Konstitusi, lanjutnya, juga bukan sekedar teks yang bisa diubah begitu saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita berbicara soal pembatasan kekuasaan, sekali itu dilanggar maka akan runtuh bangunan demokrasi kita," ujarnya.
Bivitri menyebut Indonesia sebagai sebuah demokrasi, mau tidak mau memang harus menyelenggarakan pemilu secara rutin sebab ini merupakan salah satu syarat bagi sebuah negara demokrasi.
Syarat lain negara demokrasi, lanjutnya, adalah soal regenerasi kepimpinan. Ini bisa dilakukan dengan menggelar pemilu secara periodik.
"Kita bicara soal jaringan politik, konfigurasi politik, bayangkan kalau ini tdak direfresh, maka keseluruhan aturan main politik hukum dan politik ekonomi dan lain sebagainya tidak akan ada perubahan, demokrasi menjadi stagnan dan tidak diinginkan dalam demokrasi yang sehat," tuturnya.
Bivitri turut menyoroti sejarah Indonesia yang tercatat juga beberapa kali telah melakukan penundaan pemilu. Hasilnya pun kata Bivitri justru menyebabkan negara menjadi kacau.
Pemilu diketahui pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955 di masa Predisen Soekarno. Pemilu selanjutnya yang mestinya dilakukan tahun 1959, ditunda pelaksanaannya dengan berbagai alasan, mulai stabilitas politik hingga soal biaya.
"Apa yang dilakukan Soekarno, membuat DPR sementara tahun 1960, terus sampai ia jatuh pada tahun 1967 resminya jatuh walaupun kita tahu ada Supersemar," kata Bivitri.
Selanjutnya, pemilu harusnya digelar tahun 1968. Namun, kala itu Presiden Soeharto baru melaksanakannya tahun 1971. Lalu, pemilu yang mestinya digelar tahun 1976, tapi baru dilaksanakan tahun 1977.
"Apa yang terjadi sesungguhnya di balik itu, ada rekayasa soal kepesertaan pemilu," kata Bivitri.
Merujuk sejarah tersebut, kata Bivitri, kebijakan untuk menunda pelaksanaan pemilu justru menjadi sebuah bom waktu. Karenanya, ia berharap agar sejarah buruk itu tak kembali diulang oleh Indonesia.
"Mengandung bom waktu tentang kekuasaan yang terlalu berlebihan sehingga akhirnya pemilu tidak pernah dilaksanakan, pemimpinnya jatuh, negaranya kacau, itu juga yang perlu dicatat sebagai suatu catatan sejarah yang jangan sampai kita ulang lagi," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh pihak, termasuk dirinya untuk tunduk, taat, dan patuh pada konstitusi terkait wacana penundaan Pemilu 2024.
"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (4/3), dikutip dari Kompas.id edisi Sabtu 5 Maret.
Kendati demikian, Jokowi menegaskan, wacana menunda pemilu tidak bisa dilarang karena hal itu merupakan bagian dari demokrasi. Namun, ia menegaskan, pelaksanaan atas wacana tersebut harus tunduk pada aturan yang tertuang dalam konstitusi.
Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat," kata Jokowi.
"Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," imbuh Jokowi.
Wacana penundaan Pemilu 2024 kembali mencuat usai Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyampaikan usulan tersebut beberapa waktu lalu. Ia mengaku sudah berkeliling Indonesia dan menyerap aspirasi dari masyarakat. Hasilnya, pemulihan ekonomi imbas pandemi Covid-19 masih berjalan.
Setelahnya, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga menyampaikan mendukung usulan penundaan pemilu 2024. Secara garis besar, alasannya sama dengan Cak Imin yakni seputar pemulihan ekonomi.
(dis/fra)