Jakarta, CNN Indonesia --
Sehari setelah banjir besar Jabodetabek 2020, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil datang meninjau dengan helikopter dari Bandung. RK, inisial namanya, mengunjungi Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor yang terendam banjir sangat dalam.
Di Perumahan Vila Taman Kartini Kecamatan Bekasi Timur yang didatanginya, RK naik perahu karet karena kedalaman air setempat diperkirakan mendekati 3 meter (beberapa media menyebut ketinggian air mencapai 4 meter). Gubernur menyerahkan bantuan dan mengatakan butuh waktu untuk mencari solusi problem banjir langganan ini.
"Tidak di momen sekarang karena butuh waktu secara keilmuan, ketenangan. Harus bahas hal-hal engineering," ucapnya seperti dimuat berbagai media.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setahun setelah kunjungan itu, Kementrian PUPR mengumumkan proyek nasional penanggulangan banjir akan dilakukan dalam 11 paket. Normalisasi Kali Bekasi mulai dari titik P2C (hulu Kali Bekasi) sampai Bendung Bekasi adalah paket pertama, direncanakan dimulai Februari 2021.
Belakangan proyek baru terlaksana akhir 2021. Itu pun terhenti setelah berjalan 32% karena persoalan pembebasan lahan, demikian menurut Direktur Sungai dan Pantai, Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Bob Arthur Lombogia.
"Pembebasan lahan ada di bawah kewenangan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota). Kami hanya membangun infrastrukturnya," kata Bob dalam pertemuan dengan Komunitas Peduli Cileungsi-Cikeas (KP2C) yang giat mendesakkan agenda normalisasi sungai.
Dalam pertemuan pada awal Maret 2022 tersebut, KP2C mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk memberi solusi permanen dari banjir Bekasi yang sudah berjalan belasan tahun.
Rencana Ada, Eksekusinya Terus Tertunda
Banjir yang pada awal tahun 2000-an rutin terjadi pada puncak musim hujan, berubah jadi makin ganas, seiring pertumbuhan perumahan di sekitar daerah alirannya. Kualitas kali juga disinyalir makin buruk karena makin dangkal oleh sedimentasi lumpur, pasir dan sampah.
"Menurut penelusuran kami, terakhir Kali Bekasi dikeruk ini sudah tahun 1973. Bayangkan itu sudah mendekati 50 tahun lalu," kata Ketua KP2C, Puarman.
Ditambah pengaruh perubahan iklim yang muncul dalam bentuk cuaca ekstrem, dan habitat DAS di wilayah Bogor yang makin gundul dan rusak, curah hujan tinggi di Bogor akan bergelora bergerak menuju Bekasi dari aliran Kali Cileungsi dan Cikeas lalu masuk Kali Bekasi.
Pendek kata, sedimentasi, cuaca ekstrem, dan rusaknya habitat menyebabkan banjir yang makin buruk. Dalam setahun kini banjir bisa terjadi sampai 5 kali.
Terakhir pada 16 Februari, banjir kembali merendam Kawasan P2C dan menyebabkan ribuan rumah terendam. KP2C pun mempertanyakan komitmen PUPR terhadap program pencegahan banjir, sebelum banjir berikutnya kembali.
"Kami sangat berkomitmen untuk menindaklanjutinya dan sudah dimasukkan dalam Rencana Aksi. Termasuk di dalamnya pengendalian banjir, polder ruang terbuka hingga kolam retensi," Bob Lombogia merespons.
Ia juga mengatakan normalisasi saat ini dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) untuk Paket 1 (Bendung Bekasi-P2C). Pengerjaan Paket 6 dan Paket 7 di wilayah Cikarang Bekasi Laut (CBL) Kabupaten Bekasi, baru mencapai 3 dan 1 persen.
Rencana lain adalah pengendalian banjir di wilayah sub DAS Cileungsi (P2C hingga Curug Parigi) dan sub DAS Cikeas (P2C hingga PDAM Jatisari).
Masalahnya itu tadi, hambatan pembebasan lahan membuat rencana mandeg.
Pertemuan dengan PUPR ini terlaksana setelah KP2C mendorong sebuah petisi daring yang isinya tuntutan percepatan penanggulangan banjir Bekasi pada Presiden Jokowi. Petisi yang diluncurkan pasca-banjir terakhir pertengahan Maret lalu itu, ditekan hampir 8500 orang.
Sudah berulang kali forum serupa dilakukan untuk menjaring aspirasi dan menyampaikan proposal solusi. Mulai dari Kepada Desa, Walikota/Bupati, Anggota DPR, Pejabat Kementerian hingga Staf Ahli Presiden.
Dalam pertemuan dengan PUPR, terungkap bahwa pasca-banjir besar 2020 rupanya enam menteri, tiga gubernur dan sembilan bupati dan walikota telah meneken kesepakatan Rencana Aksi Penanggulangan Banjir dan Longsor di Jabodetabekpunjur (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur).
Dalam rencana aksi tersebut disepakati penyediaan lahan dalam aksi penanggulangan banjir dan longsor akan dilakukan oleh Pemda (provinsi dan kabupaten/kota).
Jadi kenapa dua tahun kemudian rencana aksi ini masih berbentuk rencana? Ini lah yang membuat ribuan warga korban kecewa dan marah.
"Marah karena pasca-banjir solusinya tetap saja tidak ada, cuma ada lumpur yang tersisa. Itu yg buat kami sebagai warga semakin tidak percaya dengan pemerintah karena janji-janjinya. Kami sudah bosan dengan segala retorika pejabat yang datang tetapi tidak ada realisasinya," kata Irna Sriwijayanti seorang pengurus KP2C juga jadi korban banjir tahun 2020.
Tentu saja, tidak semua pejabat daerah mengabaikan warganya. Menurut catatan KP2C, Bupati Bogor Ade Yasin bahkan 9 kali datang dalam setahun.
Soal isu pembebasan lahan, menurut ketua KP2C Puarman, baik Bupati Bogor maupun Walikota Bekasi sudah angkat tangan: tak punya cukup anggaran menutup biaya pembebasan lahan.
"Memang ini domain-nya Pemprov Jabar. Kita sejak tahun lalu belum ada komunikasi dengan Pemprov sama sekali, tapi memang ada keinginan ke sana. Sekarang sedang nunggu data dari BBWSCC tentang design lengkap normalisasi Cileungsi dan Cikeas supaya jelas berapa banyak lahan yang harus dibebaskan," kata Puarman setelah pertemuan dengan PUPR.
Semua proyek penyelesaian masalah banjir berada di bawah koordinasi BBWSCC. Kepalanya, Bambang Heri Mulyono kepada CNN Indonesia mengatakan penanganan banjir Bekasi dan sekitarnya selalu ditangani, tetapi sifatnya darurat.
Misalnya konstruksi tanggul sementara yang belakangan berkali-kali jebol karena derasnya terjangan arus.
Pembangunan tanggul yang bersifat permanen, menurut Bambang, harus mengikuti siklus tahapan penganggaran pembangunan. Artinya, ini baru bisa terlaksana setelah beberapa tahun.
Dalam rancangan yang sudah dibahas oleh BBWSCC, normalisasi kali Bekasi dan DAS-nya diperkirakan akan membutuhkan pelebaran badan sungai seluas 7-10 meter kanan dan kiri sungainya. Lebar yang diperlukan seluruhnya mencapai 30 meter.
"Lha ini kanan-kiri sungai sudah ada bangunan, perumahan. Dibutuhkan sekali keterlibatan Pemda untuk land acquisition-nya," tambah Bambang.
Perihal usulan pengerukan kali karena kegiatan terakhir sudah terjadi hampir 50 tahun lalu, ia mengatakan perhitungan teknisnya tidak semudah yang saat ini dibahas.
"Kadang masyarakat punya pandangan banjir akan selesai kalau ada pengerukan. Tidak sesederhana itu. Karena kalau kita lalukan pengerukan dampaknya bisa dirasakan mengenai jembatan, tanggul, pondasi rumah bangunan dan seterusnya. Kalau kita keruk di hilir maka akan terjadi penurunan permukaan tanah di daerah hulunya. Ini bahaya."
Sementara ini normalisasi dengan cara pengerukan dan pelebaran sungai masih jadi rencana solusi utama, tetapi menurut KP2C rencana BBWSCC itu belum dikeluarkan secara resmi sehingga Pemda belum merespon.
 Salah satu warga perumahan PGP ketika banjir parah melanda pada 2021 silam. (Dok. KP2C) |
Tidak Cocok
Setelah pertemuan dengan PUPR, KP2C melakukan konsolidasi dengan pemangku kepentingan solusi banjir Bekasi. Sebuah pertemuan dihelat awal Maret mengumpulkan Ketua RT/RW sampai kepala desa daerah terdampak banjir hadir di aula sebuah masjid di perumahan Vila Nusa Indah I.
Di tempat yang sama empat tahun lalu juga digelar konsolidasi dihadiri oleh 260 Ketua RT/RW terdampak banjir.
Kali ini rekomendasi yang ditelurkan adalah disegerakannya studi LARAP (Land Acquisition and Resetlement Action Plan) tahun ini serta konstruksi normalisasi sungai Cileungsi-Cikeas yang belum juga dimulai agar dikerjakan pada tahun anggaran 2023.
Itu berarti program harus masuk dalam rencana anggaran 2022. Sementara Gubernur, Bupati dan Walikota juga dituntut memasukkan anggaran pembebasan lahan dalam program 2023 yang berarti sudah direncanakan sejak saat ini.
Apakah upaya-upaya ini akan membebaskan Bekasi dari cengkeraman banjir musimannya?
Menurut praktisi Teknik Sipil Muslim Muin yang juga anggota TGUPP Jakarta, normalisasi tidak bisa jadi solusi permanen banjir Bekasi.
Seperti Bogor dan Bekasi, Jakarta juga penerima 'banjir kiriman' dengan kondisi DAS Ciliwung yang mirip. Penyelesaian yang diusulkannya adalah model naturalisasi sungai di mana pengelolaan utama air dilakukan di sumber air, yakni hulu sungai di Bogor.
"Normalisasi tidak cocok sama sekali. Jakarta atau Bekasi akan makin banjir dengan model itu. Normalisasi ala PUPR dengan meluruskan dan memperlebar sungai itu keliru karena yang tidak normal adalah debit sungai akibat perubahan lahan yang tidak terkendali," tukas Muslim.
"Daerah tangkapan air (catchment area) ini posisinya diatas muka air laut, jadi upaya perbaikannya harus jadi prioritas sebagai daerah tangkapan hulu. Naturalisasi jauh lebih murah dibandingkan membuang air secepatnya ke laut," tambahnya.
Selain memperbaiki daerah tangkapan air, Muslim juga mengusulkan perbanyakan pembuatan sumur resapan yang disebutnya lumbung air. Dengan menadah hujan melalui sumur di tiap rumah warga, menurutnya air akan diselamatkan dalam bentuk air tanah yang bisa dimanfaatkan dan sisanya mengalir perlahan ke pembuangan.
Sejauh ini menurut Kementerian PUPR anggaran yang direncanakan untuk 7 dari 11 paket kegiatan normalisasi sungai wilayah terdampak banjir Bekasi dan Bogor mencapai Rp4,7 triliun.