Bulan April dua tahun lalu, Amerika Serikat mencapai salah satu titik terendahnya dalam sains. Presiden Donald Trump, dalam jumpa pers yang disiarkan langsung dari Gedung Putih, menyarankan penderita Covid-19 disuntik disinfektan untuk mematikan virus dalam tubuh mereka.
Bayangkan: menyuntik zat kimia yang biasa dipakai untuk pembersih lantai ke dalam tubuh untuk mematikan virus. Diusulkan oleh kepala sebuah negara yang mungkin paling maju di dunia.
"Betul-betul hal paling sinting dan aneh yang pernah saya saksikan terjadi dalam sebuah jumpa pers seorang presiden AS," kata koresponden stasiun televisi ABC di Washington, Jon Karl.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saking anehnya, lha iya presiden lho ini, kemudian berbagai media merasa perlu melakukan fact checking termasuk CNN, Politico dan bahkan BBC untuk menegaskan bahwa Trump benar-benar menyampaikan hal itu dan mengingatkan publik usulan ini sangat berbahaya bagi kesehatan.
Meski di luar nalar sehat, pernyataan itu dianggap lumrah muncul dari Trump yang memang dipandang antisains. Menurut kamus Mirriam-Webster, antisains merujuk pada keyakinan atau tindakan dengan dasar kepercayaan yang berlawanan dengan sains atau metode dan prinsip saintifik. Suara konstituen Partai Republik pendukung Trump memang vokal soal antivaksin, menolak perubahan iklim, anti teknologi hijau untuk pengganti fosil dan banyak isu ilmiah lain.
Berbagai penelitian menunjukkan kalangan terpelajar sekalipun bisa punya kecenderungan antisains karena tendensi bias hanya menerima temuan saintifik yang sesuai dengan sistem kepercayaannya, tradisinya, agama, aliansi politik atau keuntungan ekonominya.
Dalam lingkaran perseorangan sikap antisains bisa muncul di mana-mana. Di Indonesia mudah menemukan orang yang menolak percaya rokok menyebabkan kanker - meski ancaman penyakit laknat ini sudah dicetak besar-besar pada kemasan produk tembakau.
Isu bumi datar sempat menjadi bahasan favorit sepanjang 2017 setelah sekelompok orang menolak teori bumi bulat. Nasib isu perubahan iklim juga nahas, karena menurut penelitian YouGov-Oxford 2018, Indonesia adalah negara dengan populasi penolak isu iklim terbesar di dunia.
Dalam lingkaran pembuat keputusan dan kebijakan, sikap antisains bisa sangat berbahaya. Dalam sekitar 2 pekan setelah pernyataan Trump soal disinfektan untuk penyembuhan Covid, laporan 'kecelakaan' akibat menelan/menghirup disinfektan naik pesat di AS. Ahli dan media boleh saja mencela pernyataan itu sebagai sinting, tetapi buktinya ada saja orang yang cukup loyal pada junjungan seperti Trump untuk mencoba-coba dan kemudian jadi korban.
Di Indonesia, syukurlah, tidak ada pejabat yang menyarankan cairan pembersih toilet dipakai sebagai obat Covid-19.
Tetapi meski skalanya berbeda, sebagian keputusan penting di tengah pandemi dibuat dengan sikap antisains yang mirip.
Pemakaian klorokuin (hydroxychloroquine) misalnya. Sejak awal ditentang kalangan ahli karena dianggap belum menunjukkan bukti, malah dibeli dalam jumlah 3 juta butir dari luar negeri. Begitu juga obat cacing Ivermectin (yang produksinya sebanyak 16 juta butir per bulan dibebankan pada Biofarma demi memenuhi konsumsi dalam negeri).
Menteri BUMN Erick Thohir sendiri yang memperkenalkan Ivermectin pada publik sebagai "obat antiparasit untuk terapi Covid-19". Sebelum Erick, Kepala Kantor Sekretariat Presiden (KSP) Moeldoko sudah mempromosikan Ivermectin dengan klaim "tingkat kemanjuran yang hampir di seluruh daerah mendekati 100 persen untuk menurunkan Covid-19".
Kontan harga dua jenis obat ini langsung menggila. Ivermectin menghilang lalu dijual dengan harga lima kali lipat. Lucunya -untuk tidak mengatakan celakanya-, sepekan setelah pernyataan Menteri Erick tersebut baru BPOM mengeluarkan izin uji klinis Ivermectin untuk dipakai sebagai obat Covid-19 di Indonesia.
Artinya, uji dilaksanakan belakangan sementara obat justru sudah dipakai duluan. Klorokuin dan Ivermectin baru resmi menghilang dari daftar resmi obat terapi Covid pada Februari 2022. Lebih mengherankan lagi, sampai saat ini justru tak kedengaran lagi nasib uji klinis Ivermectin ini. Apakah uji sudah selesai, apakah klaim kemanjurannya seperti pernyataan Jendral Moeldoko terbukti - sama sekali tidak ada kabarnya.
Lepas dari uji klinis yang gaib ini, salah satu pertanyaan yang muncul adalah: berapa banyak orang telanjur memilih percaya pada klorokuin dan ivermectin sebagai obat Covid-19? Apakah mereka sembuh atau justru tidak bisa diselamatkan? Andaikata pejabat pemerintah mendengar saran ahli, WHO dan sains, apakah jumlah korban bisa ditekan? Yang terpenting barangkali: apakah setelah insiden ini pejabat kita boleh belajar pentingnya mendengar apa kata sains dan berpegang teguh pada metodologi saintifik?
Melihat yang terjadi dalam sepekan terakhir jawabannya kelihatannya tidak, atau sedikitnya, belum.
Dalam kasus rekomendasi pemecatan Letjen Prof Dr dr Terawan Agus Putranto, Sp.Rad dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menyebut alasan pemecatan antara lain promosi luas pemakaian Vaksin Nusantara sebelum penelitiannya tuntas.
Ini adalah praktik terapi kesehatan kedua yang dipersoalkan, karena pada 2018 terapi dr Terawan lain yakni metode 'cuci otak' (brain flushing dari prosedur Digital Subtraction Angiography) juga membuahkan skorsing IDI karena dinilai belum cukup didukung bukti ilmiah tetapi sudah diterapkan pada pasien.
Permintaan MKEK intinya sederhana: teliti sesuai metode saintifik yang dipakai saat ini termasuk dengan uji klinis kemudian publikasi agar dapat diuji oleh komunitas saintifik lainnya, baru proses perizinannya. Ini standar yang dipakai di seluruh dunia dan menjadi benteng penting untuk melindungi publik dari praktik medis tak berstandar.
Situasi menjadi rumit ketika terapi dr Terawan diklaim telah menyelamatkan banyak nyawa - terutama kalangan pejabat puncak negara, selebritis dan politisi. Tak kurang Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengutip kesaksian pasien dr Terawan dan menganggapnya sebagai 'pengalaman empirik dan fakta' bagi ribuan orang. Setelah rekomendasi pemecatan Yasonna yang juga mendapat suntikan Vaksin Nusantara mengatakan posisi IDI dan UU Kedokteran saat ini perlu dievaluasi.
Agenda Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR dengan pengurus IDI yang berlangsung kurang dari 24 jam lalu (4/4) juga menjadi arena luapan amarah anggota karena pemberhentian dr Terawan. Beberapa diantaranya kompak menyuarakan pembubaran IDI karena kewenangannya yang dianggap 'superbody' padahal "cuma organisasi profesi".
Dalam sejarah praktik medis di Indonesia, ini bukan keributan pertama. Awal 2016 klinik kanker Warsito, seorang doktor ahli kimia dan fisika medis, juga ditutup Kementerian Kesehatan. Klinik ini kontroversial karena dibuka dengan label 'riset' tetapi sudah menerima ribuan penderita kanker sebagai pasien. Keputusan ini dikritik menghalan-halangi penderita mendapat manfaat dari karya anak bangsa sendiri. Bahkan Menteri Ristek (saat itu) M Nasir mengatakan "Warsito adalah harapan baru bagi penderita kanker di Indonesia".
Baik dari kasus Ivermectin, klinik Warsito maupun terapi DSA dan Vaksin Nusantara, nampak persoalannya ada pada isu pembuktian ilmiah. Kementerian Kesehatan dan IDI berkeras menggunakan standar riset-publikasi-uji sebagai acuan, sementara penolaknya berpendapat kesaksian kesembuhan pasien adalah bentuk pembuktian yang tak perlu dipersoalkan lagi.
Seorang pemakai Twitter setengah bercanda mengusulkan "tahapan uji klinis fase mungkin sekalian diubah saja menjadi testimoni pejabat 1, 2, 3." Testimoni keberhasilan terapi adalah modal yang baik dalam riset medis. Tetapi tanpa uji klinis terukur, testimoni semacam ini tetap disebut anekdotal (belum faktual karena didasarkan pada pengalaman pribadi saja).
Insiden IDI-Terawan ini mengkhawatirkan untuk setidaknya dua alasan. Pertama, bagaimana nasib metode ilmiah dalam kebijakan di Indonesia kalau tokoh penegaknya seperti Kemkes dan IDI diserang habis-habisan? Kedua, kontroversi seperti ini makan energi dan fokus yang mestinya bisa diarahkan pada inovasi bangsa yang sangat penting seperti kelanjutan uji klinis Ivermectin dan vaksin Merah Putih yang belakangan juga sepi kabarnya.
Tegaknya metode ilmiah akan turut menentukan pencapaian inovasi sains Indonesia, karena ini bentuk yang diakui secara universal sebagai tangga menuju ilmu pengatahuan baru. Tentu saja, tegaknya motode saintifik hanya bisa terjadi dalam sistem politik yang juga prosains. Seperti dalam kasus Ivermectin, kebijakan publik yang diambil dengan melawan metode saintifik, dengan kata lain antisains, ujungnya menghabiskan sumberdaya dan pada akhirnya merugikan publik.
Indonesia menghadapi berbagai persoalan besar saat ini seperti krisis iklim, cuaca ekstrem dan lingkungan yang rusak - yang seluruhnya perlu dipecahkan dengan mengindahkan sains yang didapat melalui metode ilmiah.
Karena itu seperti dalam insiden suntik disinfektan ala Presiden Trump, yang dilakukan IDI dan Kemkes saat mengoreksi dr Terawan maupun Klinik Warsito, adalah langkah penting untuk mengoreksi agar perilaku antisains tak makin membesar.
(sur)