Hasil penelitian Soeprapto menguak fakta bahwa para remaja atau pelajar mulanya memopulerkan kata klitih hanya sebatas adu jotos atau tawuran dadakan.
Dia pun meneliti tiga golongan untuk mencari mula pergeseran makna klitih hingga yang dikenal masyarakat awam Jogja saat ini.
Tiga golongan sebuah kelompok geng pelajar itu ia klasifikasikan dalam tiga bagian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, organisasi inti (ketua, wakil, dan anggota); organisasi inti+ (plus alumni genk pelajar); dan organisasi inti++(plus alumni plus kelompok preman).
Kelompok terakhir inilah yang memanfaatkan euforia para pelajar. Melakukan aksi kejahatan jalanan yang tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam (sajam).
"Kelompok ini yang memanfaatkan keberanian (momen) mereka (pelajar) untuk melakukan kejahatan jalanan," imbuhnya.
Lambat laun, kelompok geng inti pelajar tertentu terkontaminasi pola pergerakan organisasi inti++. Mereka mulai memakai sajam untuk menyerang targetnya. Tentu, hasil akhirnya tak cuma mengarah ke tawuran saja, tapi bisa juga instan ke kematian mengingat dampak serangan dari pedang, gir, celurit, dan lain semacamnya pada korban.
"Oleh mereka (makna asli klitih) memang tetap digerus, karena mereka tetap ingin menggunakan istilah klitih. Karena bilang 'ayo nglitih' itu kan kesannya positif, kalau bilang 'ayo nganiaya' ya langsung ketangkap," ucapnya.
Oleh karenanya Soeprapto mengaku sepakat bilamana kata klitih tak lagi dipakai untuk mengistilahkan kejahatan jalanan sebagaimana imbauan pemerintah atau Polda DIY.
Dia lebih setuju jika kejahatan jalanan ini disebut anirat jalanan atau penganiayaan berat di jalan oleh pelajar. Selain klitih bukan istilah baku dalam nomenklatur hukum juga demi memulihkan makna sesungguhnya.
Bukan cuma Soeprapto sendiri saja yang setuju dengan pendapat polisi klitih tak digunakan untuk merujuk pada kejahatan jalanan remaja. Ia mengklaim beberapa akademisi perguruan tinggi lain juga berpendapat demikian. Lewat karya dan telaah ilmiah, mereka mencoba mengurai arti asli istilah tersebut ke masyarakat.
"Kami sendiri juga melalui pertemuan ilmiah dengan Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Budaya, atau fakultas lainnya memang kita tidak sepakat kalau masih menggunakan kata klitih. Cuma kadang kala masih muncul di media, di pembicaraan orang," kata Soeprapto.
Lihat Juga : |
Secara terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Fatahillah Akbar menyebut Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) bisa memikirkan pertanggungjawaban pidana orangtua guna meminimalisasi aksi kejahatan jalanan oleh anak di bawah umur.
Fatahillah mengatakan, dalam konteks hukum pidana positif saat ini di Indonesia memang hanya mengenal pertanggungjawaban individu dalam kekerasan.
"Namun pertanggungjawaban orangtua sudah ada di banyak negara. Misal seperti (kasus) narkotika," kata Fatahillah dihubungi via WhatsApp, Rabu (6/4).
Pemda DIY, menurut Fatahillah, sudah bisa memikirkan penggunaan peraturan daerah (perda) untuk menuntut tanggungjawab para orang tua terkait pengawasan anak-anaknya terhadap potensi aksi kejahatan jalanan.
"Jika kejadian semakin banyak, maka kesalahannya adalah di sistem. Berarti selain pemidanaan, juga dipikirkan sistem," imbuhnya.
Ia berpandangan, perda ini nantinya bisa berfungsi sebagai pengontrol. Jika kejahatannya terjadi di malam hari dan orang tua memiliki kendali penuh maka bisa dianggap bertanggungjawab.
Semisal, pada Perda tertera aturan anak di bawah usia 18 tahun dilarang keluar rumah tanpa alasan masuk akal. Jika aturan ini dilangkahi maka orangtua bisa dijatuhi sanksi sesuai batasan perda.
Fatahillah berpendapat dalam aturan itu bisa diatur bahwa orangtua yang kedapatan membiarkan anaknya kelayapan dengan alasan tak jelas bisa diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda.