Yogyakarta, CNN Indonesia --
Kejahatan jalanan yang melibatkan remaja atau anak di bawah umur pada malam hari menjadi bahasan serius di wilayah DI Yogyakarta beberapa waktu terakhir. Pasalnya, korban yang diburu para remaja bermotor itu umumnya acak dan menimbulkan luka bahkan hilangnya nyawa korban.
Warga DIY sempat menyebut aksi-aksi remaja tanggung itu sebagai klitih, namun pemerintah setempat hingga kepolisian enggan menyebutnya sebagai klitih, melainkan kejahatan jalanan saja.
Polda DIY bahkan terang-terangan meminta masyarakat tak lagi memakai istilah klitih untuk setiap aksi kejahatan jalanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kata klitih ini mohon tidak kita gunakan lagi, karena ini sudah salah kaprah," kata Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi di Mapolresta Yogyakarta, Selasa (5/4).
Ade menjelaskan, klitih adalah bahasa atau istilah lokal yang sedianya memiliki definisi jalan-jalan sore atau sekadar mencari angin sambil mengobrol. Namun, kekinian istilah klitih mengalami pergeseran makna yang mengarah ke aksi kejahatan jalanan.
Serupa pula, saat menanggapi seorang pelajar SMA Muhammadiyah II yang tewas karena sabetan gir saat mencari sahur akhir pekan lalu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X juga enggan menyebutnya sebagai klitih. Meskipun demikian, dia mendorong pelaku yang membuat siswa SMA itu meninggal harus diproses hukum ke pengadilan.
"Kalau saya itu melanggar hukum. Bukan klitih kenakalan anak saja, tapi sudah terlalu jauh," ujar Raja Keraton Yogyakarta itu, Senin (4/4)
Kriminolog dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Soeprapto menjelaskan, istilah klitih pada mulanya memang memiliki definisi berbeda dengan seperti yang dipakai belakangan untuk memaknai setiap aksi kejahatan jalanan di Yogyakarta dan sekitarnya.
Soeprapto berujar, klitih adalah Bahasa Jawa yang berarti sebuah aktivitas mengisi waktu luang secara positif. Lengkapnya, klitah-klitih. Tak terbatas untuk kegiatan di jalanan. Selain itu, ia mencontohkan bahwa menulis, membaca, mengisi teka-teki silang (TTS) pun termasuk klitih karena mengisi waktu luang secara positif.
Pergeseran makna itu kemudian berubah setelah kata 'klitih' digunakan para remaja untuk aksi di jalanan.
"Tetapi ketika itu diadopsi, dipakai istilah itu oleh remaja, oleh pelajar jadi bermakna kegiatan mencari musuh. Atau menjadi negatif," kata Soeprapto saat dihubungi, Rabu (6/4).
Dari kajiannya, Soeprapto menemukan pergeseran makna klitih itu terjadi selama periode 2004-2005 hingga 2009 lalu. Para pelajar mulai menggunakan klitih sebagai kata ganti kegiatan tawuran.
Semua berawal ketika Pemerintah Kota Yogyakarta melalui para kepala sekolah menerapkan kebijakan untuk mengembalikan setiap siswa yang terlibat aksi tawuran kepada orangtua alias dikeluarkan dari (drop out/DO).
Sejak pendisiplinan itu, para pelajar mulai merasa dibatasi dan tak leluasa membuktikan eksistensi diri, melampiaskan kekecewaan, dendam, dan lain sebagainya lewat tawuran.
"Sehingga lalu dia keliling kota naik sepeda motor untuk mencari musuh, memancing remaja sebaya untuk diajak bertikai. Akhirnya lalu setiap kali ada kegiatan kekerasan jalanan oleh remaja disebutnya klitih," papar Soeprapto.
"Mereka yang sadar tak lagi mudah tawuran, mereka jemput bola. Biasanya tawuran kan terjadi kalau ada konflik antar siswa, sekarang tidak ada konflik mereka ciptakan konflik itu," sambungnya.
Pemakaian kata klitih waktu itu kiranya sama saja dengan cara para anak muda menggunakan istilah nge-date untuk kegiatan berpacaran di malam minggu, atau hunting buat makna mencari pacar atau pasangan.
Baca halaman selanjutnya, hasil penelitian Soeprapto soal klitih.
Hasil penelitian Soeprapto menguak fakta bahwa para remaja atau pelajar mulanya memopulerkan kata klitih hanya sebatas adu jotos atau tawuran dadakan.
Dia pun meneliti tiga golongan untuk mencari mula pergeseran makna klitih hingga yang dikenal masyarakat awam Jogja saat ini.
Tiga golongan sebuah kelompok geng pelajar itu ia klasifikasikan dalam tiga bagian.
Pertama, organisasi inti (ketua, wakil, dan anggota); organisasi inti+ (plus alumni genk pelajar); dan organisasi inti++(plus alumni plus kelompok preman).
Kelompok terakhir inilah yang memanfaatkan euforia para pelajar. Melakukan aksi kejahatan jalanan yang tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam (sajam).
"Kelompok ini yang memanfaatkan keberanian (momen) mereka (pelajar) untuk melakukan kejahatan jalanan," imbuhnya.
Lambat laun, kelompok geng inti pelajar tertentu terkontaminasi pola pergerakan organisasi inti++. Mereka mulai memakai sajam untuk menyerang targetnya. Tentu, hasil akhirnya tak cuma mengarah ke tawuran saja, tapi bisa juga instan ke kematian mengingat dampak serangan dari pedang, gir, celurit, dan lain semacamnya pada korban.
"Oleh mereka (makna asli klitih) memang tetap digerus, karena mereka tetap ingin menggunakan istilah klitih. Karena bilang 'ayo nglitih' itu kan kesannya positif, kalau bilang 'ayo nganiaya' ya langsung ketangkap," ucapnya.
Oleh karenanya Soeprapto mengaku sepakat bilamana kata klitih tak lagi dipakai untuk mengistilahkan kejahatan jalanan sebagaimana imbauan pemerintah atau Polda DIY.
Dia lebih setuju jika kejahatan jalanan ini disebut anirat jalanan atau penganiayaan berat di jalan oleh pelajar. Selain klitih bukan istilah baku dalam nomenklatur hukum juga demi memulihkan makna sesungguhnya.
Bukan cuma Soeprapto sendiri saja yang setuju dengan pendapat polisi klitih tak digunakan untuk merujuk pada kejahatan jalanan remaja. Ia mengklaim beberapa akademisi perguruan tinggi lain juga berpendapat demikian. Lewat karya dan telaah ilmiah, mereka mencoba mengurai arti asli istilah tersebut ke masyarakat.
"Kami sendiri juga melalui pertemuan ilmiah dengan Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Budaya, atau fakultas lainnya memang kita tidak sepakat kalau masih menggunakan kata klitih. Cuma kadang kala masih muncul di media, di pembicaraan orang," kata Soeprapto.
Perda Atur Pertanggungjawaban Orangtua
Secara terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Fatahillah Akbar menyebut Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) bisa memikirkan pertanggungjawaban pidana orangtua guna meminimalisasi aksi kejahatan jalanan oleh anak di bawah umur.
Fatahillah mengatakan, dalam konteks hukum pidana positif saat ini di Indonesia memang hanya mengenal pertanggungjawaban individu dalam kekerasan.
"Namun pertanggungjawaban orangtua sudah ada di banyak negara. Misal seperti (kasus) narkotika," kata Fatahillah dihubungi via WhatsApp, Rabu (6/4).
Pemda DIY, menurut Fatahillah, sudah bisa memikirkan penggunaan peraturan daerah (perda) untuk menuntut tanggungjawab para orang tua terkait pengawasan anak-anaknya terhadap potensi aksi kejahatan jalanan.
"Jika kejadian semakin banyak, maka kesalahannya adalah di sistem. Berarti selain pemidanaan, juga dipikirkan sistem," imbuhnya.
Ia berpandangan, perda ini nantinya bisa berfungsi sebagai pengontrol. Jika kejahatannya terjadi di malam hari dan orang tua memiliki kendali penuh maka bisa dianggap bertanggungjawab.
Semisal, pada Perda tertera aturan anak di bawah usia 18 tahun dilarang keluar rumah tanpa alasan masuk akal. Jika aturan ini dilangkahi maka orangtua bisa dijatuhi sanksi sesuai batasan perda.
Fatahillah berpendapat dalam aturan itu bisa diatur bahwa orangtua yang kedapatan membiarkan anaknya kelayapan dengan alasan tak jelas bisa diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda.