Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI berpeluang melakukan sidang etik bagi dokter yang masih menggunakan metode terapi cuci otak yang diprakarsai mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Metode cuci otak Terawan itu dikenal sebagai Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) untuk tujuan terapi yang merupakan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA).
"Seandainya benar ada dokter yang masih melakukan tindakan tersebut, dan dokter tersebut sementara sudah mengetahui tindakan tersebut belum memiliki bukti secara ilmiah," kata Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Beni Satria saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (8/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian dilakukan dengan tujuan terapeutik, maka akan diperiksa oleh MKEK IDI cabang atau wilayah untuk disidang etik berdasarkan laporan," imbuhnya.
Pada 2018, metode terapi cuci otak Terawan itu direkomendasikan untuk dihentikan. Rekomendasi itu berasal dari Satgas Penyelesaian Pelayanan Kesehatan dengan Metode IAHF sebagai terapi yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Farid Moeloek.
Lebih lanjut, Beni juga mengaku hingga saat ini pihaknya belum memiliki data praktik dokter yang melakukan terapi cuci otak ala Terawan itu. Sejumlah publik sebelumnya menyebutkan terapi cuci otak milik Terawan masih digunakan di sejumlah rumah sakit.
"IDI tidak memiliki data baik dokter maupun rumah sakit yang melakukan DSA," ujar Beni.
Satgas bentukan Kemenkes pada 2018 silam itu sebelumnya membeberkan metode penelitian mereka sehingga kemudian berujung untuk merekomendasikan penghentian praktik cuci otak Terawan.
Pertama, seluruh jurnal ilmiah dan penelitian yang dilakukan Terawan tidak sesuai dengan format Evidence based medicine (EBM). Penelitian Terawan juga tidak memenuhi syarat untuk digunakan dasar pemberian terapi.
Kedua, terapi Terawan itu bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 yang merupakan rujukan etika profesi bagi seluruh dokter di Indonesia. Penelitian Terawan dianggap melanggar KODEKI Pasal 6 lantaran tidak memiliki bukti ilmiah sebagai dasar praktik IAHF untuk tujuan terapi.
Ketiga, terapi cuci otak Terawan dinilai melanggar Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit lantaran masih belum bisa menunjukkan bukti ilmiah.
Keempat, di dalam standar kompetensi dokter spesialis radiologi yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tidak memuat IAHF ataupun modifikasi DSA sebagai tindakan terapi.
Satgas melanjutkan, yang masuk dalam standar kompetensi adalah tindakan DSA sebagai metode diagnostik tanpa penambahan heparin dengan flushing. Hingga saat itu belum ada Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK) tentang tindakan IAHF untuk terapi tersebut.
(khr/ain)