Jakarta, CNN Indonesia --
Wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbuntut panjang. Massa mahasiswa di sejumlah penjuru wilayah Indonesia menggelar demonstrasi besar-besaran pada Senin (11/4) lalu, dan sejak beberapa hari sebelumnya.
Aksi unjuk rasa tersebut secara umum menyuarakan penolakan mereka atas wacana tersebut. Selain itu, mahasiswa juga menyuarakan terkait harga kebutuhan pokok, bahan bakar minyak (BBM), PPN, hingga kelangkaan dan mahalnya minyak goreng.
Wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden itu semula digelorakan sejumlah ketua umum partai politik (Parpol) hingga beberapa menteri di bawah Jokowi dalam beberapa bulan terakhir. Tercatat ada tiga Ketum (PKB, Golkar, dan PAN) pemegang suara di parlemen yang mendorong penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai akhirnya, beberapa hari menjelang demo mahasiswa 11 April, Jokowi dalam rapat kabinet pekan lalu memerintahkan para menterinya tidak lagi berbicara soal penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden, atau masa jabatan tiga periode.
Jokowi kembali menegaskan pelaksanaan pemilu sesuai jadwal 14 Februari 2024. Dia memerintahkan anak buahnya mempersiapkan anggaran yang akan digunakan para penyelenggara pemilu.
Meskipun istana mengklaim itu sebagai ketegasan Jokowi, nyatanya masih ada pesimistis dari sejumlah kalangan bahwa hal tersebut belum cukup untuk membendung upaya-upaya lain di masa depan.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Herlambang P Wiratraman mengatakan Jokowi bisa saja menunjukkan kepada rakyat soal ketegasannya taat konstitusi dan tak berminat perpanjangan masa jabatan dengan memberikan sanksi tegas kepada para pembantunya.
"Presiden harus tunjukkan sikap tegas terhadap Menterinya yang bicara secara berbeda di ruang publik, bila perlu sanksi pemberhentian. Ini bila Jokowi mau tegas dan bersikap lurus," kata Herlambang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).
Ia beranggapan upaya itu harus dilakukan Jokowi untuk menunjukkan sikap tegasnya yang menolak wacana menjabat selama tiga periode, ataupun penundaan pemilu.
Menurutnya, Jokowi seharusnya tak ragu untuk menindak tegas Menteri yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianutnya selama menjadi Presiden. Apalagi, kata dia, ini merupakan periode terakhir Jokowi menjabat.
"Presiden harus bersikap negarawan, kepentingan publik harus diutamakan. Tak perlu ragu karena [kesempatan] periode Jokowi sudah terakhir," ucap dia.
Menurutnya, perguliran wacana penundaan pemilu hingga masa jabatan presiden ditambah itu membahayakan konstitusi negara yang sudah diatur dalam Undang-undang Dasar RI 1945, juga berlawanan dengan amanat reformasi 1998.
Apalagi, buntut dari wacana tersebut telah mengakibatkan gelombang demonstrasi mahasiswa di beberapa wilayah dalam beberapa waktu terakhir. Herlambang mengatakan bahwa wacana itu membuat pemerintah kehilangan kepercayaan publik saat ini.
"Kekisruhan ini sungguh menguras energi bangsa. Menyulut emosi sekaligus menebalkan ketidakpercayaan publik," kata Herlambang.
"Namun bila ia (Jokowi) masih berkepentingan menjabat kembali, maka sebenarnya itu hal mendasar masalahnya, karena memang kekuasaan yang bekerja saat ini lebih memperlihatkan politik kartel dalam kekuasaan," tambah dia.
Baca halaman selanjutnya...
Terpisah, Pengamat Politik Universtias Al Azhar Ujang Komarudin mengatakan saat ini adalah momentum bagi Jokowi untuk dapat melakukan reshuffle kabinet kerja di bawahnya.
Menurutnya, banyak persoalan bangsa yang terbukti tak dapat diselesaikan oleh para pembantunya di kabinet. Belum lagi, Menteri kerap memberikan sikap yang berbeda dari apa yang ditunjukkan oleh Jokowi.
"Di tengah ketidakpercayaan mahasiswa, rakyat, itu kan tuntutan loh. Itu kan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah, artinya harus direspons dengan kinerja yang terbaik," katanya saat dihubungi.
Ujang menilai Jokowi selama ini kerap hanya memberikan teguran terhadap menteri yang tak becus bekerja secara umum. Namun, tak ada aksi nyata untuk membenahi permasalahan itu.
Dia mencontohkan saat Jokowi dibuat dongkol kepada kinerja menteri yang tak menjelaskan alasan di balik kenaikan harga beberapa komoditas seperti minyak goreng, hingga BBM jenis Pertamax.
Menurutnya, masyarakat tak hanya butuh penjelasan dari para menteri. Hanya saja, harus ada tindakan berupa kebijakan yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
"Tidak ada perbaikan juga. Itu yang jadi problem," ujar Doktor Ilmu Politik yang mengajar di Universitas Al Azhar Indonesia tersebut.
Persoalan itu kemudian ditambah dengan wacana tiga periode yang membuat publik semakin jengkel dengan kinerja pemerintah. Menurutnya, rangkaian masalah tersebut membuat ketidakpercayaan publik terhadap Jokowi semakin bertambah.
Ujang melihat bahwa kekuatan relasi politik Jokowi dengan sekutunya membuat ia menjadi ragu untuk mengambil tindakan. Padahal, hal tersebut seharusnya tak lagi perlu dipikirkan apabila mengingat periode ini merupakan masa terakhir dirinya menjabat Presiden.
"Jokowi kan sulitnya menjaga keseimbangan di antara mereka (partai politik). Mereka juga kan tidak mau, apalagi menteri-menteri dari partai. Gak mau, dia pasti akan marah kalau ditegur atau di-reshuffle," kata Ujang.
"Karena itu desakan yang diminta mahasiswa, karena kalau tidak dijawab, kalau tidak direspons justru itu akan membahayakan pemerintahan pak Jokowi. Maka akan ada tuntutan mundur di tengah jalan, dan sebagainya," imbuh penulis buku Ideologi Partai Politik: Antara Kepentingan Partai dan Wong Cilik tersebut.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden mulanya digulirkan sejumlah menteri. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menjadi orang pertama di kabinet Jokowi yang membahas penundaan pemilu.
Bahlil berkata dunia usaha menginginkan perpanjangan masa jabatan Jokowi. Menurut Bahlil, para pengusaha ingin pemulihan ekonomi pascapandemi dituntaskan.
Beberapa waktu kemudian giliran Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyampaikan soal penundaan pemilu. Namun, Airlangga berbicara dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Golkar juga mewakili sikap partainya.
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan juga mengatakan ada aspirasi penundaan pemilu. Dia menyebut hal itu diketahui dari big data berisi percakapan 110 juta orang di media sosial.
Wacana itu terus bergulir beberapa bulan terakhir hingga akhirnya pada April ini gelombang demo mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Jakarta pada 11 April lalu terjadi.
Beberapa hari sebelum demo mahasiswa 11 April, Jokowi akhirnya di dalam rapat kabinet pekan lalu memerintahkan para menterinya tidak lagi berbicara soal penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden, atau masa jabatan tiga periode.
"Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan mengenai penundaan, perpanjangan," tutur Jokowi pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (5/4).
Kemudian dalam rekaman video yang diunggah akun Youtube Sekretariat Negara pada Minggu (10/4), di dalam rapat di istana Jokowi kembali menegaskan soal pelaksanaan pemilu sesuai jadwal dan memerintahkan anak buahnya mempersiapkan anggaran yang akan digunakan para penyelenggara pemilu.
Dia menyebut anggaran pemilu dan pilkada pada 2024 akan mencapai Rp110,4 triliun.
"KPU-nya Rp76,6 triliun dan Bawaslunya Rp33,8 triliun. Ini saya minta didetailkan lagi, dihitung lagi, dikalkulasi lagi dengan baik dalam APBN dan APBD, dipersiapkan secara bertahap," ujar Jokowi.
Dia menegaskan pemilu tetap digelar pada 14 Februari 2024. Persiapan akan dimulai pada Juni tahun ini. Jokowi menekankan hal ini mesti dijelaskan kepada masyarakat agar tidak muncul spekulasi yang menyebut pemerintah sedang melakukan upaya penundaan Pemilu maupun memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.