Kejaksaan Agung mengungkap kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) lebih dulu dibandingkan dua instansi penegak hukum lainnya yaitu Polri dan KPK.
Meski begitu, KPK, berdasarkan UU KPK masih bisa ikut berkontribusi dalam proses hukum kasus tersebut. KPK berwenang melakukan supervisi penanganan kasus korupsi oleh instansi lain.
Pasal 10 UU KPK menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini juga sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi. Bahkan dalam Perpres itu, KPK berwenang mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian.
Pasal 10A UU Tipikor memuat enam alasan KPK bisa mengambil alih penanganan kasus korupsi dari instansi lain.
Di antaranya yakni proses penanganan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul mengamini ada aturan yang membolehkan KPK melakukan supervisi atas kasus yang ditangani lembaga lain. Namun, dia tak yakin KPK akan melakukan itu.
"Kalau teori aturannya begitu [KPK bisa supervisi], tapi sekali lagi sampai sekarang KPK enggak pernah melakukan kewenangannya untuk melakukan supervisi," kata Chudry.
Meskipun berwenang untuk melakukan supervisi, Chudry menyebut masing-masing penegak hukum sudah mempunyai kesepakatan bersama (MoU) terkait penanganan kasus korupsi.
"Mereka itu ada MoU antara Polri, Kejaksaan, dan KPK, kalau misal salah satu instansi sudah mulai melakukan tindakan penegakan hukum, maka instansi lain itu enggak boleh terlibat. Tapi, secara peraturannya, hukumnya, ketiganya berwenang," terang dia.
Senada, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai KPK dan Polri tidak bisa mencampuri penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan.
"Menurut saya, yang pasti itu mereka enggak saling mencampuri, mungkin mereka sudah bikin etika sendiri, etika di antara penegak hukum," tutur Fickar.
"Sehingga, ketika kasus sudah ditangani Kejaksaan, maka saya kira KPK enggak bisa cawe-cawe. Demikian juga sebaliknya. Meskipun dari sudut pendalaman kasus, lembaga itu seharusnya bisa bekerja sama," lanjut dia.
Dalam kasus ini, ada empat tersangka yang telah ditetapkan Kejaksaan Agung antara lain Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group, Stanley MA; dan General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas, Picare Tagore Sitanggang.
Perkara berkaitan dengan penerbitan izin ekspor oleh Kementerian Perdagangan kepada para pengusaha yang tidak berhak sehingga disebut sebagai tindakan melanggar hukum.
"Telah ditemukan indikasi kuat bahwa perbuatan tindak pidana korupsi terkait pemberian persetujuan ekspor minyak goreng telah membuat masyarakat luas khususnya masyarakat kecil susah," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada wartawan, Selasa (19/4).
(ryn/bmw)