Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyoroti kemunduran agenda-agenda reformasi. Menurutnya, hal ini semakin parah tujuh tahun terakhir.
Isnur berpendapat reformasi sempat berjalan baik pada awal 2000-an. Dia menyebut ada pembentukan KPK, ratifikasi sejumlah deklarasi hak asasi manusia (HAM), dan pendirian lembaga-lembaga yang menjamin supremasi hukum.
Perjalanan reformasi Indonesia, ucapnya, mulai mandek dan cenderung mundur mulai tahun 2010. Dia menyoroti kemunduran demokrasi sebagai salah satu ruh reformasi.
"Catatan YLBHI, polisi banyak melakukan kekerasan, semakin anti terhadap demonstrasi, menangkap orang, melakukan pressure di mana-mana," tutur Isnur saat dihubungi CNNIndonesia.com.
"Tujuh tahun terakhir ini, Indonesia mengalami stagnasi, regresi, penurunan. Reformasi masuk ke dalam otoriter," imbuhnya.
Indeks demokrasi Indonesia, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), mencapai titik terendah dalam 14 tahun pada 2020. Skor demokrasi Indonesia hanya 6,3 dan berada di urutan ke-64 di dunia.
Indeks demokrasi sempat naik pada 2021 menjadi 6,71. Namun, pada tahun tersebut EIU masih mengategorikan demokrasi Indonesia sebagai flawed democracy atau demokrasi cacat.
"Negara-negara ini juga memiliki pemilu yang bebas dan langsung, meski ada sejumlah masalah seperti pelanggaran kebebasan pers, kebebasan sipil dasar lainnya dihormati. Bagaimana pun, ada sejumlah kelemahan signifikan dalam sejumlah aspek demokrasi lainnya, termasuk masalah-masalah di pemerintahan, budaya politik yang kurang berkembang, dan tingkat partisipasi politik yang rendah," demikian tercatat dalam laporan EIU: Democracy Index 2021.
Menurut Isnur, penerapan demokrasi saat ini tak berbeda dengan era sebelum reformasi. Ia mengungkit penangkapan sejumlah aktivis dan penembakan sejumlah mahasiswa sejak gelombang aksi unjuk rasa tahun 2019.
"Bagaimana beberapa kasus 2019, nyawa mahasiswa melayang lima orang? Apa bedanya dengan '98 ketika Orde Baru?" kata Isnur.
![]() |
Taufik Basari--aktivis '98 yang kini menjabat Anggota DPR RI--mengakui ada sejumlah pekerjaan rumah setelah 24 tahun reformasi.
Dia yang karib disapa Tobas itu menyoroti dua tuntutan reformasi yaitu supremasi hukum serta penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurutnya, dua agenda reformasi itu masih harus terus diperbaiki.
"Meskipun memang kondisinya tidak apple to apple, tidak bisa kita bandingkan secara sama kondisi zaman Orde Baru yang otoriter dengan kondisi sekarang yang lebih terbuka, tetapi kita masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk dua hal terakhir ini," kata Tobas saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Tobas berpendapat penegakan hukum masih sering dipengaruhi kekuasaan, uang, dan mafia hukum. Begitu pula pemberantasan korupsi yang belum tuntas ditandai dengan berbagai kasus korupsi yang masih terus terjadi pascareformasi.
Meski demikian, ia tak sepakat jika catatan-catatan merah itu menjadi cerminan dari seluruh agenda reformasi. Menurutnya, agenda-agenda lain telah sukses diselesaikan.
Dia menyebut Soeharto telah diadili, meski terhambat kondisi kesehatan. Dwifungsi ABRI juga telah dilakukan secara bertahap dengan pembatasan kekuasaan angkatan bersenjata.
Politikus NasDem itu juga menilai pemerintahan daerah sudah jauh lebih otonom dibandingkan Orde Baru. Amendemen konstitusi juga telah berjalan dengan fokus membatasi kekuasaan presiden.
Selain itu, Tobas menampik tudingan bahwa aktivis '98 yang saat ini menjadi menjadi pejabat negara telah mengkhianati reformasi. Dia berkata upaya pelaksanaan agenda reformasi terus dilakukan meski belum sempurna.
"Ada yang berhasil secara maksimal dicapai; ada yang terpenuhi, tetapi tidak optimal; ada yang masih jauh dari harapan. Jangan kemudian ketika ada suatu persoalan yang dianggap kurang, kemudian menutupi hal yang lain. Kita juga harus objektif," ungkapnya.
![]() |
Deputi V Kepala Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani juga tak sepakat bila reformasi dianggap gagal sepenuhnya. Dia mengatakan reformasi telah berlangsung selama 24 tahun dengan berbagai dinamikanya.
Perempuan yang karib disapa Dani itu menyatakan tak setuju dengan istilah reformasi dikhianati, terutama terkait pelemahan upaya pemberantasan korupsi. Ia merasa pemberantasan korupsi saat ini dilakukan secara integral,
"Terkait tuduhan pengkhianatan reformasi melalui pelemahan KPK, perlu diingat juga bahwa pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, KPK justru menjadi bagian integral dan tidak terpisahkan dengan kementerian/lembaga untuk mengoordinasikan upaya pencegahan korupsi melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2018," ucap Dani melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com pertengahan Mei lalu.
Ia pun tak sepakat dengan anggapan kualitas demokrasi menurun. Dani mengatakan skor indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 naik meski ada dinamika pandemi Covid-19.
Dani mengaku terbuka dengan berbagai kritik terhadap kiprah pemerintah melaksanakan agenda reformasi. Namun, ia merasa beberapa tuduhan tendensius perlu dilihat secara lebih berimbang untuk menilai validasinya.
"Saya juga ingin mengingatkan bahwa jangan terjebak dengan ketergesaan menyimpulkan sesuatu tanpa basis data yang lengkap. Jangan hitam putih, dikotomis, dan parsial. Realita itu demikian kompleksnya dan butuh kejernihan mengurainya," ujar dia yang sebelumnya dikenal pula sebagai peneliti LIPI tersebut.