Mahkamah Konstitusi (MK) menolak dua uji formil UU 7 Tahun 2020 yang mengatur lembaga peradilan tersebut.
Dilansir dari situs www.mkri.di, MK membaca putusan empat perkara baik pengujian formil dan materill atas UU 7/2020, Senin (20/6).
Putusan yang pertama dibacakan adalah penolakan uji formil pada perkara nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Allan Fatchan Gani Wardhana. MK menyatakan tak dapat menerima uji materi yang dimohonkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan tolak uji formil lainnya adalah yang dilayangkan R Violla Reinida Hafidz dkk dari Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi. Putusan uji formil dan materiilnya pun sama dengan yang diputuskan MK atas permohonan yang diajukan Allan
"Dalam pengujian formil, menolak permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang disiarkan langsung via kanal YouTube MK, Senin.
"Dalam pengujian materiil, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," lanjut putusan MK.
Dalam putusan itu, ada hakim konstitusi yang berpendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concuring opinion) yakni Wahidudin Adams dan Suhartoyo, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra.
Gugatan dengan nomor perkara 100/PUU-XVIII/2020 ini diajukan Violla dkk karena mereka menilai revisi UU MK dilakukan dengan cara-cara penyelundupan hukum, pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta proses yang antidemokrasi, tergesa-gesa, tertutup, tak melibatkan publik, serta timing pembentukan yang tak memperlihatkan sense of crisis darurat kesehatan masyarakat Covid-19.
Dilansir dari situs mkri.id, MK akan memutus empat perkara pengujian formil dan materiil UU MK pada hari ini. Empat perkara itu adalah Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Allan Fatchan Gani Wardhana, Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Priyanto, Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Violla Reininda dkk yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi, dan Nomor 56/PUU-XX/2022 yang diajukan Ignatius Supriyadi.
Pada putusan nomor 96/PUU-XVIII/2020, MK mengabulkan sebagian dan menyatakan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki hukum mengikat.
Dampak dari putusan tersebut, maka Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto harus berhenti dari jabatan kepemimpinan tersebut.
Dalam pertimbangan mahkamah yang dibacakan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, baik Anwar maupun Aswanto masih menjabat pimpinan MK hingga terpilih yang baru.
"Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Enny Nurbaningsih.
Berdasarkan Pasal 24C ayat 4 UUD 1945, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Enny menjelaskan alasan baik Anwar Usman maupun Aswanto tak langsung mundur saat putusan dibacakan.
"Agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo maka Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana amanat Pasal 24C ayat 4 UUD 1945," tutur Enny.
Sementara untuk perkara nomor 56/PUU-XX/2022 adalah uji materiil terkait soal pengisian anggota majelis kehormatan MK dari unsur Komisi Yudisial.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," demikian putusan perkara nomor 56/PUU-XX/2022 dibacakan Ketua MK Anwar Usman.
"Menyatakan Pasal 27A ayat 2 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang frasa 1 orang anggota Komisi Yudisial tidak dimaknai 1 orang dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun," imbuhnya.