Jakarta, CNN Indonesia --
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menegaskan tak ada sistem koalisi dalam sistem presidensial yang dipakai oleh Indonesia.
Ia bahkan meminta para kadernya keluar jika masih berbicara koalisi. Menurutnya, sistem presidensial hanya mengenal istilah kerja sama.
Presiden ke-5 RI itu pun bingung masih banyak politikus dan publik kerap menggunakan istilah koalisi. Hal itu secara khusus juga disampaikan Megawati kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hadir di acara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, istilah koalisi hanya dikenal di negara yang menganut sistem parlementer dalam pemilihan perdana menteri. Sedangkan, di Indonesia tidak ada perdana menteri.
Pernyataan Megawati itu mengisyaratkan PDIP tak ingin menjalin koalisi, tetapi sebatas kerja sama dengan partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
PDIP sampai saat ini memang belum memberi sinyal berkoalisi dalam kontestasi politik 2024. Sementara sejumlah partai telah bergerak membentuk koalisi.
Sebut saja Golkar, PAN, dan PPP yang telah resmi membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Sedangkan yang lainnya macam PKB, NasDem, Gerindra, Demokrat, hingga PKS masih melakukan penjajakan.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno tak yakin PDIP berjalan sendiri pada Pilpres 2024 mendatang, meskipun secara aturan bisa mengusung jagoannya sendiri.
Namun, Adi menilai maksud pernyataan Megawati bukan berarti partainya menutup pintu koalisi. Ia menilai Megawati hanya berupaya memberikan peringatan bahwa koalisi merupakan urusan dirinya sehingga kader PDIP tak memiliki hak bicara soal koalisi.
"Saya yakin PDIP akan berkoalisi kok, sekalipun PDIP punya tiket. Karena bagi PDIP koalisi adalah keniscayaan, sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, itu terjemahan politik gotong royong milik PDIP," kata Adi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (22/6).
Adi mengungkap alasan PDIP butuh rekan koalisi menghadapi Pilpres 2024. Pertama, PDIP harus memastikan capres dan cawapres yang mereka usung bisa terpilih.
Kemudian partai berlambang banteng itu juga mesti mengamankan capres dan cawapresnya, jika menang lagi, di parlemen. Menurut Adi, koalisi di parlemen akan membantu mengawal program-program eksekutif.
"Karena dalam sistem presidensialisme multipartai ekstrim seperti Indonesia, presiden itu butuh dukungan parlemen yang solid agar kebijakan politiknya nanti tidak diprotes dan diinterupsi. Kan seperti Pak Jokowi 2014 lalu, betul menang, tetapi di parlemen banyak kubu Prabowo di awal tahun," katanya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini mengingatkan masyarakat Indonesia cenderung melihat figur capres ketimbang nama partai. Ia mencontohkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang bisa menang di Pilpres 2004.
Saat itu, kata Adi, SBY yang diusung oleh Partai Demokrat, sebuah partai baru, bisa mengalahkan Megawati yang notabene didukung PDIP dan beberapa partai lain.
"Namun ya balik kepada tadi, PDIP tetap butuh koalisi di nasional, jangan sampai kadernya apabila menjadi presiden jadi presiden 'minoritas'," ujarnya.
Baca kelanjutan di halaman berikutnya...
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai sikap PDIP yang hingga detik ini tak membicarakan koalisi tak terlepas dari 'gengsi' Megawati membuka inisiatif mengajak partai lain berkoalisi.
Di sisi lain, kata Jamiluddin, Megawati dan PDIP tak ingin disetir oleh partai lain jika gabung dalam koalisi. Menurutnya, Megawati selalu ingin memegang kendali dalam setiap koalisi yang mereka bentuk.
Jamiluddin berpendapat PDIP bisa melahirkan bluder atau kesalahan besar apabila mereka memilih untuk tidak berkoalisi pada kontestasi politik 2024 mendatang.
"Saya melihat kalau terlalu percaya diri juga, bahwa misal Megawati bersikukuh tidak perlu koalisi dan dia berpikir partai lain yang harus mendekati mereka, itu bisa-bisa menjadi blunder buat PDIP terutama dalam mengusung capresnya," ujar Jamiluddin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/6) malam.
Jamiluddin menyebut pemilihan presiden berbeda halnya dengan pemilihan kepala daerah. PDIP, menurutnya, harus tetap berkoalisi dengan partai lain untuk mendapatkan pundi-pundi suara pemilih.
Ia mengingatkan sosok capres dan cawapres merupakan hal yang paling penting. Saat ini, kata Jamiluddin,
hanya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang memiliki elektabilitas tinggi, sedangkan sisa kader lain masih rendah.
Meskipun mengantongi suara tertinggi pada Pemilu 2019, Jamiluddin menilai PDIP belum cukup kuat untuk mengusung capres dan cawapres dari internal sendiri.
"Apakah PDIP akan mengusung Puan dan Ganjar? Namun menurut saya Puan itu kartu mati, susah didongkrak elektabilitasnya. Untuk itu, PDIP perlu berkoalisi untuk mengusung kader lagi apakah dari partai lain ataupun independen yang kuat," ujarnya.
Cegah Manuver Kader
Sementara itu Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menilai pernyataan Megawati kemarin di Rakernas bukan menutup diri koalisi. Menurutnya, Megawati justru hendak mencegah kadernya melakukan manuver untuk kepentingan Pilpres 2024.
"Bu Mega kelihatannya tidak mau ada orang di dalam PDIP yang memaksa dia untuk melakukan koalisi, tidak mau didekte. Dan juga kalau saya melihatnya ini masalah wibawa partai," kata Kunto.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI ini pun mengingatkan elektabilitas tokoh politik yang diperoleh pada hari ini sebetulnya tidak menggambarkan kondisi atau elektabilitas nasional pada 2024 mendatang.
Ia mencontohkan Joko Widodo pada 2012 silam tidak memiliki elektabilitas nasional, pun dengan SBY pada 2002 silam. Namun keduanya berhasil membalikan keadaan dalam waktu dua tahun dan menang.
"Begitu PDIP mendeklarasikan calonnya siapapun itu, maka elektabilitasnya akan naik bisa sampai 20persen, karena begitulah suara PDIP," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]
Di sisi lain, Kunto menjelaskan kepercayaan diri yang begitu besar pada PDIP ini karena mereka yakin masih memiliki banyak loyalis. Berdasarkan survei yang dilakukan KedaiKopi beberapa waktu lalu memperlihatkan masyarakat memandang partai dari tokoh sentralnya.
Kendati beberapa kader PDIP tersangkut korupsi dan sejumlah kasus lainnya asalkan tokoh sentral tak bermasalah, masyarakat masih dapat mengampuni dan masih memilih setia.
Selain itu, PDIP merupakan partai yang sudah eksis sejak lama sehingga namanya masih melekat di masyarakat. Terlebih, menurutnya, masyarakat Indonesia masih banyak yang floating mass dan kurang mendapatkan informasi politik.
"Jadi asal Bu Mega yang tidak korupsi tidak masalah. Makanya PKS waktu 2009 terpuruk karena ketua partainya yang kena kasus korupsi," ujar Kunto.