Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai sikap PDIP yang hingga detik ini tak membicarakan koalisi tak terlepas dari 'gengsi' Megawati membuka inisiatif mengajak partai lain berkoalisi.
Di sisi lain, kata Jamiluddin, Megawati dan PDIP tak ingin disetir oleh partai lain jika gabung dalam koalisi. Menurutnya, Megawati selalu ingin memegang kendali dalam setiap koalisi yang mereka bentuk.
Jamiluddin berpendapat PDIP bisa melahirkan bluder atau kesalahan besar apabila mereka memilih untuk tidak berkoalisi pada kontestasi politik 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya melihat kalau terlalu percaya diri juga, bahwa misal Megawati bersikukuh tidak perlu koalisi dan dia berpikir partai lain yang harus mendekati mereka, itu bisa-bisa menjadi blunder buat PDIP terutama dalam mengusung capresnya," ujar Jamiluddin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/6) malam.
Jamiluddin menyebut pemilihan presiden berbeda halnya dengan pemilihan kepala daerah. PDIP, menurutnya, harus tetap berkoalisi dengan partai lain untuk mendapatkan pundi-pundi suara pemilih.
Ia mengingatkan sosok capres dan cawapres merupakan hal yang paling penting. Saat ini, kata Jamiluddin,
hanya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang memiliki elektabilitas tinggi, sedangkan sisa kader lain masih rendah.
Meskipun mengantongi suara tertinggi pada Pemilu 2019, Jamiluddin menilai PDIP belum cukup kuat untuk mengusung capres dan cawapres dari internal sendiri.
"Apakah PDIP akan mengusung Puan dan Ganjar? Namun menurut saya Puan itu kartu mati, susah didongkrak elektabilitasnya. Untuk itu, PDIP perlu berkoalisi untuk mengusung kader lagi apakah dari partai lain ataupun independen yang kuat," ujarnya.
Sementara itu Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menilai pernyataan Megawati kemarin di Rakernas bukan menutup diri koalisi. Menurutnya, Megawati justru hendak mencegah kadernya melakukan manuver untuk kepentingan Pilpres 2024.
"Bu Mega kelihatannya tidak mau ada orang di dalam PDIP yang memaksa dia untuk melakukan koalisi, tidak mau didekte. Dan juga kalau saya melihatnya ini masalah wibawa partai," kata Kunto.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI ini pun mengingatkan elektabilitas tokoh politik yang diperoleh pada hari ini sebetulnya tidak menggambarkan kondisi atau elektabilitas nasional pada 2024 mendatang.
Ia mencontohkan Joko Widodo pada 2012 silam tidak memiliki elektabilitas nasional, pun dengan SBY pada 2002 silam. Namun keduanya berhasil membalikan keadaan dalam waktu dua tahun dan menang.
"Begitu PDIP mendeklarasikan calonnya siapapun itu, maka elektabilitasnya akan naik bisa sampai 20persen, karena begitulah suara PDIP," ujarnya.
Di sisi lain, Kunto menjelaskan kepercayaan diri yang begitu besar pada PDIP ini karena mereka yakin masih memiliki banyak loyalis. Berdasarkan survei yang dilakukan KedaiKopi beberapa waktu lalu memperlihatkan masyarakat memandang partai dari tokoh sentralnya.
Kendati beberapa kader PDIP tersangkut korupsi dan sejumlah kasus lainnya asalkan tokoh sentral tak bermasalah, masyarakat masih dapat mengampuni dan masih memilih setia.
Selain itu, PDIP merupakan partai yang sudah eksis sejak lama sehingga namanya masih melekat di masyarakat. Terlebih, menurutnya, masyarakat Indonesia masih banyak yang floating mass dan kurang mendapatkan informasi politik.
"Jadi asal Bu Mega yang tidak korupsi tidak masalah. Makanya PKS waktu 2009 terpuruk karena ketua partainya yang kena kasus korupsi," ujar Kunto.
(khr/fra)