Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan dari 14 isu krusial RKUHP yang dibicarakan pemerintah dan Komisi III DPR pada Mei lalu, pihaknya masih menemukan sejumlah hal yang dianggap bermasalah.
Berikut beberapa pasal yang dimaksud:
Menghina presiden dan wakilnya dapat dipenjara paling lama tiga tahun enam bulan. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 218 RKUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemenkumham menyebut pasal ini tetap ada, tetapi diubah menjadi delik aduan. Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi harkat dan martabat presiden.
Namun, ICJR menilai pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan Nomor 013-022/puu-iv/2006 dengan alasan warisan kolonial. ICJR juga menilai pasal ini tidak sejalan dengan iklim demokrasi.
Kemenkumham menyebut pidana mati tetap dipertahankan pada pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102. Pasal ini bukan pidana pokok, melainkan bersifat khusus.
Selain itu, pidana ini dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan.
Namun, menurut ICJR, Indonesia seharusnya mengikuti peradaban di negara yang lain yang telah maju dengan menghapus pidana tersebut. Terlebih, ketentuan dalam hukuman tersebut juga problematik.
Pasalnya, tidak semua terpidana mati dapat memperoleh masa percobaan. Selain itu, masa tunggu yang lama untuk pidana mati juga termasuk dalam penyiksaan.
Orang yang dianggap melakukan penodaan agama dapat dipenjara paling lama lima tahun. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 304.
Pada pasal ini pemerintah melakukan penyelarasan karena dalam penjelasan masih menggunakan kata 'penghinaan'.
ICJR memberi catatan bahwa pasal ini berpotensi memicu penyerangan terhadap minoritas agama tertentu. Sebab, delik penodaan agama yang rencananya akan diterapkan tidak berorientasi pada perlindungan kebebasan beragama bagi individu untuk melaksanakan kepercayaannya.
Orang yang memperlihatkan, menjual, dan menyebarkan informasi untuk mendapatkan kontrasepsi kepada anak dapat dipidana denda. Ketentuan ini dalam pasal 414.
ICJR menilai keberadaan pasal ini harus ditinjau ulang lantaran bertentangan dengan pengendalian HIV-AIDS.
Sama halnya dengan pidana aborsi. Dalam pasal 415, orang yang yang mempertunjukkan dan menawarkan untuk menggugurkan kandungan dapat dipenjara sampai enam bulan.
Sementara untuk ibu yang menggugurkan anak dapat dipenjara sampai empat tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 469. Untuk dokter dan tenaga kesehatan yang mengugurkan dapat dipenjara sampai 15 tahun.
Pasal-pasal ini dinilai akan bertabrakan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. Sehingga bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Selain itu, ICJR menilai pemerintah harus membeli pengecualian untuk orang dengan darurat medis dan korban perkosaan,
Kemenkumham menyebut pidana ini tetap ada dan tertuang dalam pasal 431 dan tidak ada perubahan. Penggelandang dianggap mengganggu ketertiban umum dan dapat dijatuhi pidana denda.
ICJR menilai pasal ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal itu negara justru seharusnya memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
![]() |
Orang yang dianggap berzina dapat dipidana penjara sampai 1 tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 417.
ICJR menilai pasal ini memicu tingginya perkawinan anak. Sebab, pasal ini cenderung akan mendorong orang tua menikahkan anak secepatnya untuk menghindari zina.
Pidana sampai enam bulan atau denda kategori II siap menanti orang yang dianggap tinggal bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Ketentuan itu dibuat pada pasal 418.
Pasal ini dapat mengkriminalisasi orang-orang yang menikah, tetapi belum tercatat di negara.
Pidana ini menjadi tertuang dalam pasal 280, dari draf sebelumnya yang memuat di pasal 281. Orang yang dianggap menghina pengadilan dapat dipidana denda paling banyak kategori II.
Pasal ini dianggap ICJR sebagai pasal karet dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat.
Pasal 277 mengatur pidana untuk orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain. Pasal ini diubah menjadi delik materiil.
ICJR menilai pasal ini perlu dievaluasi relevansinya. Jika diperlukan, lebih baik diatur dalam perda.
Pidana ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 595. ICJR menilai living law berisiko dijadikan alasan oleh aparat dalam melakukan penghukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (adat).