Partai Buruh Resmi Gugat UU PPP ke Mahkamah Konstitusi

CNN Indonesia
Senin, 27 Jun 2022 19:44 WIB
Partai Buruh menyatakan permohonan pengujian formil UU PPP dilakukan untuk menguji tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang tersebut.
Partai Buruh. Ilustrasi. (CNN Indonesia /Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Partai Buruh resmi menggugat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini Senin (27/6).

Wakil Presiden Partai Buruh Agus Supriyadi mengatakan pihaknya mengajukan permohonan uji materiil dan uji formil terhadap undang-undang tersebut. Ia menilai UU PPP merugikan kaum buruh.

"Kita melihat ada kerugian buat kami khususnya Partai Buruh beserta buruh di Indonesia karena menyangkut ada keterkaitannya dengan UU Ciptaker atau Omnibus Law," kata Agus usai mengajukan gugatan di MK, Senin (27/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agus mengatakan pihaknya ingin agar UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional. Diketahui, pengaturan mengenai UU Cipta kerja diatur dalam UU PPP. Oleh sebab itu, dengan digugatnya UU PPP maka secara otomatis pembahasan mengenai UU Cipta Kerja tak bisa dilanjutkan.

"Kita juga meminta bahwa UU Ciptaker khususnya klaster ketenagakerjaan biar terpisah. Jangan disatukan dengan UU yang lain atau Omnibus Law," ujar Agus.

Kuasa Hukum Partai Buruh M Imam Nasef menjelaskan bahwa permohonan pengujian formil UU PPP dilakukan untuk menguji tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang tersebut. Menurutnya, UU PPP menyalahi putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Menurutnya, dalam putusan tersebut pembentukan undang-undang harus melibatkan partisipasi bermakna seperti dengan membuka proses penyusunan undang-undang ke publik. Sementara UU PPP dinilai tak melakukan hal tersebut.

"Faktanya di pembentukan UU PPP ini itu tidak dilakukan. Memang ada misalnya FGD ataupun seminar-seminar yang dilakukan tapi kalangan yang ikut terbatas. Padahal di putusan MK 91 dinyatakan bahwa subjek yang mengikuti partisipasi itu harus seluruh masyarakat yang berkepentingan langsung," kata Imam.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa pengujian materiil dilakukan terhadap beberapa pasal yang berkaitan dengan Omnibus law. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 64 ayat 1a dan 1b serta Pasal 72 dan 73.

"Pasal 64 ayat 1a dan 1b ini tidak berkepastian hukum. Kenapa? Karena di situ tidak dijelaskan atau tidak diatur indikator kapan suatu teknik Omnibus itu bisa digunakan," ujarnya.

Imam mengatakan Pasal 72 dan 73 UU PPP juga dinilai bermasalah lantaran berpotensi untuk memuluskan masuknya pasal-pasal terselubung. Diketahui, pasal tersebut mengatur tentang undang-undang yang masih bisa diperbaiki meski telah disetujui oleh pemerintah dan DPR.

"Walaupun revisinya itu disebut bahwa revisi terkait dengan teknis penulisan, tapi dalam penjelasan pasal 72 (dan) 73 itu juga tidak disebutkan kesalahan teknis penulisan itu apa ruang lingkupnya," jelas Imam.

"Yang kami khawatirkan kalau ini diberlakukan maka sangat mungkin terjadi satu UU yang sudah disahkan oleh pemerintah dan DPR, presiden dan DPR maka dimasukkan pasal-pasal terselubung. Pasal-pasal siluman," sambung dia.

Pada permohonan pengujian formil, Imam mengatakan ia menggunakan uji pada Pasal 22 a dan Pasal 28 d ayat 1. Sementara untuk uji materil, pasal yang digunakan yaitu Pasal 28 d ayat 1 dan Pasal 20 UUD.

(blq/ain)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER