Sidang UU Perkawinan, Ahli Nilai Agama Tidak Jadi Penghambat

CNN Indonesia
Selasa, 28 Jun 2022 00:03 WIB
UU Perkawinan 16/2019 digugat oleh seorang pria karena batal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam. Sidang lanjutan digelar MK.
Ilustrasi pernikahan. (Foto: iStock/Luke Chan)
Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, Senin (27/6).

Sidang tersebut menghadirkan dua orang ahli dari pihak pemohon yaitu Risa Permanadeli selaku psikolog sosial dan peneliti sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial dan Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Dalam sidang tersebut, Risa meminta majelis hakim mengabulkan permohonan E Ramos Petege yang menggugat Pasal 2 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan karena gagal menikah dengan seorang wanita Muslim.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, agama tak semestinya menjadi penghambat seseorang dalam aspek kehidupan apapun, termasuk menikah.

"Diperlukan cara baru untuk menetapkan ulang agama agar tidak menjadi variabel yang menghambat perubahan dan kemajuan bersama," kata Risa dalam sidang di MK.

Agama, menurutnya, harus bersifat dinamis yang merepresentasikan situasi bangsa yang kini telah berkembang sesuai zaman. Risa pun berbicara soal kemajemukan.

"Agama harus bersifat dinamis yang merepresentasikan kecerdasan bangsa ini, untuk setiap saat berani melihat ulang kenyataan empirik, kemajemukan yang selalu berubah mengikuti zaman agar pengertian kemajemukan itu sendiri tidak kita ingkari dan tetap kita jadikan modal utama bersama untuk bergerak sebagai sebuah bangsa," ujarnya.

Sementara itu, Usman Hamid menyampaikan bahwa negara yang menjunjung tinggi ketuhanan, mestinya bisa menjamin dan menghormati pernikahan beda agama. Menurutnya, hal itu sesuai dengan amanat dalam Pasal 29 UUD 1945.

"Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, sebenarnya aspek teologis ini harus mengikuti ketentuan Pasal 29 UUD 1945 yang mengatakan bukan hanya negara berdasarkan asas ketuhanan Yang Maha Esa, tapi juga negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya," kata Usman.

Menurut Usman, kedua rumusan tersebut menunjukkan bahwa negara tak hanya memegang asas ketuhanan Yang Maha Esa, tapi juga menjamin kemerdekaan setiap orang atau setiap insan manusia untuk melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kodrat sebagai manusia.

Ia menyebut negara justru perlu memberikan perlindungan bagi mereka yang menikah beda agama untuk tetap memeluk agamanya masing-masing.

"Karena itu menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Jadi Pasal 29 dalam UUD 1945 menunjukkan ketuhanan menurut kepercayaan agama masing-masing. Dan dengan perspektif hukum itulah maka pernikahan beda agama semestinya dihormati dalam semangat persamaan hak dan kesetaraan dalam pernikahan," ujar dia.

Diketahui, UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 digugat seorang pria asal Papua, yakni E Ramos Petege. Dia mengaku merasa dirugikan dengan UU tersebut usai gagal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam.

Menurutnya, ada pasal dalam UU Perkawinan yang bertentangan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945

Ramos mempersoalkan pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f dalam UU Perkawinan. Menurut Ramos, makna dua ayat dalam pasal tersebut mengandung ketidakpastian hukum.

Dalam pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Ayat (2) berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Sementara Pasal 8 huruf f menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

(blq/tsa)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER