Wali Kota Bogor, Jawa Barat, Bima Arya Sugiarto menilai penghapusan tenaga kerja honorer pada November 2023 mendatang akan berimplikasi pada nasib lingkungan di Kota Hujan tersebut.
Pasalnya, pengawasan lingkungan banyak diisi oleh tenaga honorer, bukan aparatur sipil negara (ASN).
"Kalau honorer betul betul selesai di 2023, lumpuh semuanya. Pengawasan dan pengintegrasian sistem dan sebagainya," kata Bima dalam rapat bersama Komisi IV DPR, Selasa (28/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bima mengungkapkan di kotanya kekurangan personel bersertifikat untuk melakukan pengawasan dan pengendalian lingkungan.
Apa lagi, kata Bima setelah ada pengintegrasian sistem secara digital antara kementerian dengan semua dinas. Ia mengaku kesulitan menemukan ASN yang melek digital.
"Kami masih kurang personel yang memiliki kompetisi di bidang digital," ujar dia.
Persoalan tersebut, menurut Bima semakin rumit nantinya jika pemerintah benar-benar menghapus tenaga kerja honorer.
"Padahal ini membutuhkan banyak sekali keterampilan digital yang tidak mungkin dipenuhi oleh ASN. Jadi selama ini yang digital digital ini kebanyakan diisi honorer," ucapnya.
Sebagai infromasi pemerintah pusat akan menghapus penggunaan tenaga honorer di setiap tingkat pemerintahan. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo memastikan tidak ada lagi tenaga honorer di instansi pemerintah usai 2023.
Kebijakan ini sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dalam beleid itu, pegawai non-PNS di instansi pemerintah masih tetap melaksanakan tugas paling lama lima tahun saat peraturan tersebut berlaku atau 2023.
"Terkait tenaga honorer, melalui PP (peraturan pemerintah), diberikan kesempatan untuk diselesaikan sampai dengan tahun 2023," kata Tjahjo dalam keterangan tertulis yang dikutip Antara, Senin (17/1).
Namun, rencana penghapusan honorer itu mendapatkan keberatan dari para pemerintahan daerah di Indonesia. Gubernur seluruh Indonesia meminta pemerintah pusat untuk meninjau kembali kebijakan menghentikan tenaga honorer pada 2023 mendatang.
Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi menyatakan permintaan itu hasil kesepakatan dalam rapat koordinasi yang digelar April 2022 lalu di Bali. Kala itu dipimpin oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Jadi gubernur se-Indonesia memang berharap kebijakan ini ditinjau ulang, karena ini akan berdampak pada kehidupan tenaga honorer yang selama ini menggantungkan hidupnya di pekerjaan ini," kata Mahyeldi.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) juga menyerukan hal yang sama.
Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan yang juga Sekjen APKASI meminta pemerintah pusat agar menunda rencana penghapusan tenaga honorer. Menurutnya, kebijakan tersebut akan mengganggu kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah dan pelayan publik.
"Kami dengan beberapa kabupaten dan kota berharap penghapusan tenaga kontrak di pemerintah pusat dapat ditunda sampai selesainya rangkaian Pemilu serentak 2024. Rekomendasi ini bahkan dikeluarkan sebagai salah satu usulan dalam Rakernas XIV APKASI tahun 2022 baru-baru ini di Bogor," kata dia, Jumat (24/6).
Di satu sisi, pelaksanaan honorer--terutama pemberian upah kerja--tak lepas dari masalah di tingkat bawah. Salah satunya diungkap mantan honorer di NTT kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Pudencia yang berasal dari Ende bercerita kepada Jokowi soal pengalaman tak digaji selama bekerja sebagai honorer di sebuah puskesmas. Oleh karena itu, ia mulai mencoba ikut program Kartu Prakerja.
"Saya mengikuti pelatihan Prakerja waktu masih honorer di puskesmas. Kami di NTT kalau honorer tidak digaji," kata Dea pada Temu Raya Kartu Prakerja di Sentul, Bogor, Jumat (17/6).
Saat ini, Dea telah bekerja di sebuah bandara kecil di Sabu Raijua. Dia berharap program Kartu Prakerja tetap berlanjut meski Jokowi tak lagi menjabat presiden.