Legalisasi ganja untuk kebutuhan medis kembali menjadi sorotan usai seorang ibu asal Sleman, DI Yogyakarta, Santi Warastuti menggelar aksi saat car free day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta Pusat, pada Minggu (26/6) lalu.
Bersama anaknya yang duduk di kursi roda, Santi mengingatkan ke publik bahwa dirinya telah menahun menunggu MK mengadili uji materi UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Hal itu lantaran ia membutuhkan legalisasi ganja segera demi pengobatan anaknya yang menderita kelainan otak.
Perkara itu sendiri telah teregistrasi dalam nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020. Saat ini, permohonan tersebut tinggal menunggu putusan hakim konstitusi untuk dibacakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Pemerintah belakangan menyatakan bakal menyikapi serius persoalan ini, sementara DPR berencana memanggil dokter dan farmakolog untuk mendengarkan pendapat mereka soal ganja medis.
Lingkar Ganja Nusantara (LGN) lantas mendukung penuh upaya DPR mengkaji pelegalan tanaman ganja untuk penggunaan medis. Pasalnya, berdasarkan sejumlah riset tanaman tersebut bisa jadi alternatif obat untuk beberapa penyakit.
"Pemerintah seharusnya segera melakukan riset ganja medis. LGN dan YSN mendukung 100 persen rencana DPR mengkaji itu," kata Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara dan Pendiri LGN Dhira Narayana baru-baru ini
Dalam riset yang dilakukan oleh LGN, tanaman ganja setidaknya bisa dijadikan obat untuk 30 penyakit. Riset itu, kata Dhira dapat dilihat di buku Hikayat Pohon Ganja.
Beberapa penyakit itu di antaranya alzheimer, glaukoma, masalah buang air, radang sendi, kanker sampai cerebral palsy (CP). Ia berharap hasil riset tersebut bisa menjadi salah satu referensi kajian pemerintah dan DPR.
"Yang paling penting adalah menaruh perhatian besar kepada Ibu Santi dan anaknya yang menderita Cerebral Palsy agar segera mendapatkan alternatif terapi yang terbukti manjur di negara yang telah melegalkan pemanfaatan ganja medis," tutur Dhira.
Sejauh ini hanya Badan Narkotika Nasional (BNN) yang meragukan kajian pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis. Koordinator Tim Ahli Narkotika BNN Komjen Polisi Ahwil Luthan menyebut ganja di Indonesia memiliki zat tetrahydrocannabinol (THC) yang tinggi yakni 18 persen sehingga tidak bisa digunakan untuk peruntukan medis.
Luthan juga mengingatkan bahwa keputusan kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) sudah memberikan persetujuan legalisasi ganja medis kepada masing-masing negara
"Jadi ganja yang bisa diolah menjadi medis itu harus yang tetrahydrocannabinol-nya rendah, sedangkan ganja yang ada di Indonesia ini mempunyai kadar tetrahydrocannabinol-nya di atas 18 persen. Jadi itu tidak bisa diolah menjadi medis," kata Luthan.
Luthan menjelaskan tanaman ganja di Indonesia berbeda dengan yang ada di Thailand maupun negara-negara lain yang telah melegalisasi salah satu jenis narkotika itu. Di Indonesia, kadar THC yang tinggi menyebabkan tanaman itu sangat sulit untuk diolah.
Temuan kandungan zat THC itu disebut berdasarkan hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang dilakukan di sekitar daerah Tawangmangu di Jawa Tengah.
"Jadi silakan mungkin bisa dimintai keterangan melalui penelitian tanaman obat. Itu milik kemenkes," ujar dia.