Wacana legalisasi ganja medis di Indonesia mulai menemukan titik terang. Pemerintah dan DPR RI saat ini sepakat untuk membahas hal tersebut secara lebih serius.
Tarik ulur pemanfaatan tanaman yang ditetapkan sebagai narkotika golongan 1 itu memang tak kunjung selesai. Hingga saat ini, ganja medis masih tidak boleh digunakan untuk kepentingan pengobatan di Indonesia.
Pemerintah sempat memunculkan harapan pemanfaatan ganja sebagai alternatif medis usai Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menetapkan tanaman itu sebagai tanaman obat komoditas binaan Kementan pada 2020 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, berselang beberapa bulan, beleid tersebut dicabut oleh Mentan. Syahrul mengatakan bakal mengkaji dan berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Kementerian Kesehatan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN).
Saat ini, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta agar Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat untuk membahas legalisasi ganja bagi keperluan medis. Rencana itu disampaikan Dasco usai bertemu Santi Warastuti, seorang ibu yang membutuhkan ganja medis untuk pengobatan anaknya pada 28 Juni 2022.
Ahli Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Asmin Fransiska menilai bahwa sebenarnya banyak cara untuk dapat meregulasikan penggunaan ganja medis di Indonesia. Hanya saja, kata dia, pemegang kuasa harus mengubah perspektif mereka dalam memandang penggunaan ganja di Indonesia dari penegakan hukum menjadi untuk pelayanan kesehatan.
Asmin mengatakan pemerintah dapat mengatur ulang penggolongan tanaman ganja yang semula ditempatkan pada golongan 1 menjadi yang lain. Upaya tersebut dapat dilakukan sehingga tanaman tersebut dikecualikan dari zat yang dinilai sangat berbahaya dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun.
"Untuk bisa masuk ke dalam pelayanan kesehatan, diturunkan jadi penggolongan zat yang di-regulate. Ada license, ada riset teruji, lab segala macam. Diturunkan ke penggolongan tiga," kata Asmin yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (29/6).
Menurutnya upaya tersebut sempat diberlakukan terhadap zat lain. Misalnya penggunaan morfin untuk anestesi, penghilang rasa sakit dan pengobatan lainnya.
Padahal, morfin merupakan zat yang masuk dalam golongan 1 narkotika. Menurutnya, penggolongan zat tersebut direduksi menjadi golongan 2 sehingga dapat diregulasikan oleh pemerintah.
Selain itu, kata dia, pada era '90-an Indonesia juga pernah menjadikan zat metadon untuk perawatan dan terapi. Padahal, kata dia, zat tersebut semula berada di golongan 1 namun diturunkan sehingga dapat digunakan untuk kepentingan medis.
"Dia zat yang tetap dilarang dikonsumsi, diabuse. Dikonsumsi tanpa izin itu tetap dilarang, di negara-negara lain tetap begitu," jelas Asmin.
"Jadi sebenarnya bisa banget kita lakukan itu, itu kalau mau masuk ke istilah politik penggolongan," tambah dia.
Menurutnya pemerintah perlu menyusun regulasi yang rinci untuk mengatur peredaran ganja medis tersebut. Perhitungan terhadap cost and benefit (pengeluaran dan keuntungan) harus dihitung, sehingga menjadi kebijakan yang tepat sasaran.
Dia menerangkan bahwa pemerintah juga dapat menempuh merevisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasalnya, kata dia, Pasal 6 dan 8 beleid tersebut melarang keras penggunaan narkotika golongan 1 untuk layanan kesehatan.
Karena itu, masyarakat dikekang oleh aturan hukum yang tidak memungkinkan penggunaan tanaman tersebut. Ia merincikan bahwa sebenarnya pasal tersebut memungkinkan narkotika golongan 1 untuk digunakan untuk kepentingan pengetahuan.
Namun, kata dia, konteks yang diterangkan dalam undang-undang tersebut tak berkaitan dengan ilmu pengetuhan dan teknologi (IPTEK).
"Kalau dilihat penjelasannya tentang IPTEK itu ditulis bahwa riset yang digunakan nanti bukan untuk kepentingan layanan kesehatan. IPTEK yang digunakan untuk penanggulangan, ya law enforcement," ucap Asmin.
"Hanya bisa diuji lab, kalau orang ketangkap ini benar tidak ganja, ini benar tidak heroin. Hanya itu di Undang-undang kita," tambahnya lagi.
Ia pun mendorong agar Kementerian Kesehatan dapat ditempatkan sebagai leading sector untuk meresmikan wacana tersebut. Pasalnya, kata dia, jika menyerahkan hal tersebut kepada lembaga penegakan hukum maka perspektif yang akan muncul tak lagi berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
"Soal niat dan kepentingan kemauan politik. Kalau memang kemauan politik kita punya perspektif pelayanan kesehatan dan punya kemampuan untuk mengevaluasi control zat duduk bersama. yang lead sektornya harus kemenkes, jangan penegak hukum," jelasnya.