Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan atas tiga gugatan terkait pengujian materiil Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Dilansir dari situs MK, tiga gugatan dimaksud dengan nomor perkara: 35/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh petinggi Partai Gelora yakni Muhammad Anis Matta, Mahfuz Sidik, dan Fahri Hamzah.
Kemudian perkara nomor: 52/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Ketua DPD Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin. Serta Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu ada gugatan nomor: 57/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Agus Jabo Priyono dan Sekretaris Jenderal PRIMA Dominggus Oktavianus Tobu Kiik.
"Agenda sidang pengucapan putusan," sebagaimana dilansir dari situs MK, Kamis (7/7).
Petinggi Partai Gelora menguji Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu berbunyi: "Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional." Sedangkan Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu menyatakan: "Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak."
Menurut Anis Matta dkk, frasa 'serentak' dimaknai secara sempit sebagai waktu pemungutan suara Pemilu yang harus dilaksanakan pada hari yang sama untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota DPRD.
Jika pada 2024 pemilihan anggota DPR dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, konsekuensi hukum yang timbul adalah hasil perolehan suara atau kursi DPR yang digunakan sebagai syarat bagi partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024 akan menggunakan atau didasari pada perolehan suara atau kursi DPR yang diperoleh partai politik dari hasil Pemilu terakhir (2019).
Sementara, Anis Matta dkk pada penyelenggaraan Pemilu 2019 belum membentuk partai politik dan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum publik.
"Kehendak pemohon untuk mendirikan partai politik dan mengurus pengesahan sebagai badan hukum publik di tahun 2020 dimaksudkan untuk mengikuti Pemilu 2024, termasuk untuk mengusulkan pasangan calon pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden," sebagaimana bunyi permohonan Anis Matta dkk.
Ketua dan Wakil Ketua DPD serta petinggi PBB menggugat aturan presidential threshold 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagaimana termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu. Menurut pemohon dari unsur DPD, berlakunya Pasal 222 UU Pemilu telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
"Kehadiran presidential threshold hanya memberikan akses khusus kepada para elite politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang dengan matang kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu," bunyi permohonan pemohon dari unsur DPD.
Sementara itu, Yusril dan Afriansyah dari PBB menyatakan seharusnya mereka memiliki hak konstitusional untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun, hak tersebut menjadi berkurang akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menambahkan syarat perolehan suara sebanyak 20 persen. Menurut mereka, hal tersebut bertentangan dengan apa yang ditentukan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Dalam pemilihan legislatif tahun 2019, PBB memperoleh suara sebanyak 1.099.849 atau sebesar 0,79 persen dari total suara yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan KPU Nomor: 1316/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VIII/2019.
Partai PRIMA menguji materi Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan: "Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU."
Dalam gugatannya, partai PRIMA menilai proses verifikasi peserta pemilu terhadap partai politik secara faktual yang diatur dalam Pasal ini tak lagi relevan.
Selain itu, mereka menyoroti perlakuan berbeda atau perlakuan istimewa terhadap partai politik yang lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2019. Mereka menilai hal itu mencederai asas equality before the law.
Partai di parlemen, menurut mereka, sudah mapan dan mempunyai kursi yang dalam batas-batas tertentu memiliki wewenang kekuasaan.
"Secara relatif lebih unggul dalam hal kekuatan struktur, infrastruktur dan finansial dibandingkan partai-partai non-parlemen," ucap mereka.
(ryn/ain)