Usai 3 Kali Diperiksa Polisi, Mantan Petinggi ACT Siap Dikorbankan
Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin rampung diperiksa oleh Bareskrim Polri untuk ketiga kalinya pada Selasa (12/7).
Usai diperiksa terkait dugaan kasus penyelewengan dana, Ahyudin mengaku siap dikorbankan.
"Demi Allah ya, saya siap berkorban atau dikorbankan sekalipun asal semoga ACT sebagai lembaga kemanusiaan yang Insya Allah lebih besar manfaatnya untuk masyarakat," kata Ahyudin usai menjalani pemeriksaan.
Menurutnya, pengorbanan itu bisa dilakukan meski harus menjadi tersangka dalam perkara yang diusut oleh Bareskrim itu.
"Oh iya, apapun dong, apapun. Jika waktu-waktu ke depan begitu (jadi tersangka) ya saya harus berkorban atau dikorbankan," tambahnya.
Meski demikian, Ahyudin tak menjelaskan lebih lanjut maksud dirinya akan dikorbankan. Saat ini, dirinya masih berstatus sebagai saksi.
Ia pun meminta agar publik menerjemahkan sendiri maksud dirinya akan dikorbankan untuk keberlangsungan ACT ke depan.
Adapun kasus yang ditangani Bareskrim berkaitan dengan penyalahgunaan dana bantuan kompensasi untuk korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan Boeing menunjuk ACT sebagai pengelola dana sosial CSR. Semula, dana diperuntukkan untuk membangun fasilitas umum sesuai dengan rekomendasi para ahli waris korban.
Sebagai kompensasi tragedi kecelakaan, Boeing memberikan dua santunan, yakni uang tunai kepada para ahli waris masing-masing sebesar US$144.500 atau sebesar Rp2,06 miliar, dan bantuan non tunai dalam bentuk CSR.
Namun dana yang diberikan diduga dikelola dengan tidak transparan dan menyimpang. Beberapa diantaranya, kata polisi, digunakan untuk kepentingan pribadi para petinggi organisasi filantropi itu.
Dalam mengusut kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.