Aktivis hak asasi manusia (HAM) Usman Hamid disebut menolak gabung dalam Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PAHAM) yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Usman menolak dengan alasan khawatir akan ada potensi konflik kepentingan. Sebab dia juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII).
"Usman Hamid memang mendapatkan ajakan untuk terlibat dalam tim tersebut, namun menolak karena potensi konflik kepentingan," tulis AII dalam pesan tertulis, Rabu (7/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amnesty menilai bahwa pembentukan mekanisme rekonsiliasi non-yudisial tidak menuntaskan kewajiban Indonesia dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM berat di bawah hukum internasional.
Berdasarkan hukum internasional, Amnesty menjelaskan HAM berat harus dilakukan penyidikan. Jika terdapat bukti yang cukup, maka para pelaku yang terlibat harus dihukum pidana.
"Menuntut mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dan tindak pidana di bawah hukum internasional, dalam peradilan yang adil tanpa ancaman pidana mati," tulis AII.
Lebih lanjut, Amnesty juga menegaskan bahwa mekanisme tersebut tidak menggantikan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak korban lainnya.
"Hak atas kebenaran dan pemulihan yang penuh dan efektif untuk menangani kerugian yang mereka derita," tulis AII.
Lihat Juga : |
Jokowi sebelumnya telah meneken kepres soal pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Selain itu, Jokowi juga menyatakan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang dalam proses pembahasan.
Mekanisme ini sejak lama dikritik oleh kalangan sipil karena bisa dijadikan alibi pemerintah untuk tidak memproses kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial.
Sampai saat ini saja, dari 13 pelanggaran HAM berat yang terjadi, baru satu kasus yang berhasil naik sampai ke tahap penyidikan di Kejaksaan Agung, yakni kasus Paniai. Sementara itu, kedua belas kasus lainnya masih mandek di Kejagung.
(yla/gil)