Jelang Suksesi Panglima TNI, Imparsial Minta Jokowi Tidak Pragmatis
Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) menyoroti pendekatan politis yang digunakan dalam proses pergantian Panglima TNI.
Diketahui dalam dua bulan ke depan Jenderal Andika Perkasa bakal pensiun, sehingga posisinya sebagai Panglima TNI harus ada penggantinya.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menjelaskan proses pergantian Panglima TNI seharusnya menggunakan pendekatan legal-substantif alih-alih pendekatan pragmatis-politis.
Gufron menilai meskipun pergantian Panglima TNI adalah prerogatif Presiden RI, namun pendekatan pragmatis hanya akan mempertimbangkan unsur kedekatan dan kepentingan politis.
"Pendekatan legal [dalam] pola pergantian Panglima TNI mengedepankan rotasi antarmatra di mana panglima TNI dijabat secara bergiliran. Pendekatan substantif adalah pendekatan yang menempatkan proses pergantian Panglima TNI harus dipandang sebagai momentum dalam proses regenerasi di TNI," kata Gufron lewat keterangan tertulis, Selasa (5/10).
Menurutnya, jika pendekatan pragmatis terus digunakan, maka profesionalisme lembaga akan semakin tergerus sehingga agenda reformasi TNI semakin terbengkalai.
Padahal selama ini, Imparsial menilai reformasi yang mestinya dilakukan di internal TNI justru semakin mundur dan menemui jalan buntu. Salah satunya adalah reformasi sistem peradilan militer, restrukturisasi komando territorial dan akuntabilitas TNI dalam pengadaan alutsista maupun operasi.
"Kami menilai lemahnya kontrol sipil terhadap militer menjadi salah satu faktor penyebab mundur dan gagalnya reformasi TNI. Padahal kontrol sipil terhadap militer merupakan syarat yang esensial dalam upaya demokratisasi, terwujudnya profesionalisme militer dan supresmasi sipil," paparnya.
Lebih jauh, ia mengkritik kegagalan reformasi di tubuh TNI ini juga merupakan peran dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang seolah memberikan 'karpet merah' kepada agenda militerisasi sipil. Termasuk kembalinya militer dalam keamanan dalam negeri dalam pembentukan Komponen Cadangan Pertanan Negara (Komcad).
"Kami juga menilai, DPR RI yang memiliki fungsi pengawasan terhadap TNI justru tidak melakukan tugasnya dengan baik. DPR RI gagal melakukan pengawasan dan pengawalan agenda reformasi TNI," kata Gufron.
Ia pun beranggapan parlemen tidak menjalankan fungsi pengawasan itu secara efektif dan maksimal hingga agenda reformasi TNI terus mengalami regresi. Bahkan, parlemen menjadi aktor yang ikut melahirkan undang-undang bermasalah, seperti UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
"[Padahal UU ini] yang digunakan sebagai landasan hukum bagi Kemhan untuk membentuk Komponen Cadangan Pertahanan Negara dan juga pembiaran adanya operasi militer ilegal yang dijalankan TNI di Papua," katanya.
Gufron pun memaparkan beberapa tahun terakhir ini peran militer dalam ranah sipil justru semakin menguat. Berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya terdapat 41 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang).
MoU ini merupakan salah satu alat legitimasi peran internal TNI dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri.
"Sejumlah praktik perbantuan militer yang dijalankan oleh TNI, seperti pelibatan TNI dalam mengatasi kelompok kriminal bersenjata di Papua, program cetak sawah, pengamanan stasiun, pengamanan kegiatan aksi unjuk rasa, mengatasi terorisme, penanggulangan pandemi Covid-19, pengamanan pertandingan sepak bola dan lain sebagainya," papar Gufron.
Pihaknya melihat puluhan MoU itu bertentangan dengan Pasal ayat (3) UU TNI yang menyebutkan operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika terdapat keputusan politik negara, dalam hal ini keputusan presiden.
(cfd/kid)