Jakarta, CNN Indonesia --
Dua bulan setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan hadir dalam Kongres Diaspora Indonesia, 1 Juli 2017 lalu. Ia didapuk sebagai salah satu pembicara dalam diskusi bertema 'Peran Diaspora Menyebarkan Toleransi dan Kerukunan Beragama di Pentas Dunia'.
Acara dihadiri mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Sebagai narasumber Anies bersanding bersama Grand Imam of New York Shamsi Ali, Direktur Dialog Lintas Agama Vatikan Romo Markus Solo Kewuta dan aktor Indonesia Reza Rahadian.
Anies kala itu percaya bahwa kondisi umat beragama di Jakarta seusai Pilkada 2017 akan segera membaik. Ia juga berjanji bakal memikul tanggung jawab menjaga serta mengelola toleransi antara kelompok beragama setelah dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya akan punya tanggung jawab memastikan Jakarta selalu bineka dan persatuan dijaga semuanya. Kebinekaan itu fakta dan diperjuangkan lewat persatuan," tegas Anies saat itu.
Empat bulan setelah acara tersebut atau pada 16 Oktober 2017, Anies-Sandi resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Berbagai pihak pesimistis Anies dapat mengelola isu keberagaman dan toleransi umat beragama di Ibu Kota di awal masa jabatannya. Berbagai julukan juga masih melekat pada Anies kala itu, mulai dari 'Gubernur Antikeberagaman' hingga narasi 'Kampanye Mayat dan Ayat'.
Label itu kerap disematkan pihak tertentu ke Anies lantaran brutalnya gelaran Pilkada DKI Tahun 2017. Ketegangan selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 sangat terasa. Bahkan, Pilkada itu disebut sebagai pemilu paling mempolarisasi dan paling memecah belah masyarakat.
Anies juga dianggap identik didukung kelompok Islam garis keras pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Terlebih banyaknya agenda politik dan strategi politisasi identitas dan agama dalam kontestasi itu. Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjara atas tuduhan penghinaan agama juga dilihat sebagai upaya politisasi agama untuk memenangkan kandidat tertentu.
Lambat laun, Anies berupaya mematahkan asumsi sebagian kalangan bahwa Jakarta akan menjadi kota intoleran.
Pada 29 Oktober 2017 atau 13 hari setelah resmi dilantik Presiden Jokowi, Anies bergerak meresmikan gedung baru Gereja HKBP Semper di Jakarta Utara.
Anies mengakui Gereja HKBP Semper merupakan bangunan pertama yang diresmikannya sejak menjabat sebagai gubernur. Pada bulan berikutnya atau November 2017, Anies kembali meresmikan pemugaran Pura Dalem Purnajati Tanjung Puri, Cilincing, Jakarta Utara.
 Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau malam Natal di Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Selasa (24/12/2019). Anies kunjungan Bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta dan beberapa kepala dinas. CNN Indonesia/Andry Novelino |
Anies juga beberapa kali terlihat di publik meresmikan sejumlah tempat ibadah bagi kelompok nonmuslim di Jakarta seperti, umat Kristen, Hindu dan Budha selama lima tahun menjabat sebagai Gubernur DKI.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta turut mencatat jumlah fasilitas peribadatan di DKI Jakarta mencapai 8.212 unit pada 2021. Mayoritas fasilitas peribadatan terbanyak di Ibu Kota berupa musala sebanyak 3.525 unit. Kemudian, sebanyak 1.098 gereja Protestan di DKI Jakarta. Lalu, terdapat 92 wihara, 47 gereja Katolik, 13 pura, dan empat kelenteng Miao di Ibu Kota.
Anies juga kerap mengunjungi tempat-tempat ibadah saat momen hari-hari besar keagamaan. Bahkan, kawasan Monumen Nasional (Monas) ia buka agar bisa menggelar berbagai acara keagamaan. Sebelumnya, Monas tak boleh digunakan untuk upacara keagamaan.
Ia menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 186 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur No 160 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional. Monas pernah direncanakan untuk menggelar Natal Bersama tahun 2017 lalu. Namun batal dan dipindah ke JiExpo. Lalu, Monas digunakan untuk perayaan Paskah Bersama II oleh umat Kristen pada April 2018 lalu dan pelbagai kegiatan tabligh akbar oleh umat Islam.
Baca selanjutnya di sebelah..
Berdasarkan laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis Badan Pusat Statistik tahun 2021, DKI Jakarta menduduki peringkat satu secara nasional dengan nilai indeks 82,08. Peringkat tertinggi itu diraih DKI Jakarta selama lima tahun berturut-turut sejak 2017-2021.
Ada tiga aspek yang dinilai dalam penghitungan nilai IDI, yaitu aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik dan aspek lembaga demokrasi.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Wilayah DKI Jakarta Ferry Simanjuntak tak memungkiri Pilkada DKI Jakarta 2017 telah menimbulkan politik identitas di tengah masyarakat.
Meski begitu, Ferry berpandangan Anies tak tersandera dengan pihak yang menggunakan politik identitas ketika sudah menjabat sebagai gubernur.
"Artinya dapat dilihat perhatian beliau kepada umat beragama cenderung tak tampak hal-hal keberpihakan kepada umat agama tertentu saja," kata Ferry kepada CNNIndonesia.com, Selasa (20/9).
"Kebijakan beliau bersama FKUB Jakarta memang kondisinya saya pikir kondusif ya. Enggak ada gejolak yang muncul berkaitan tentang kepemimpinan beliau," tambahnya.
Ferry menyebut kehadiran Anies dalam sejumlah acara peresmian gereja dan perayaan keagamaan lain adalah salah satu indikator Anies tak tersandera oleh pihak-pihak yang kerap menggaungkan politik Identitas.
"Kita harus lihat mana yang baik dikatakan baik. Mana yang bisa memiliki dampak dan pandangan jadi kurang baik juga kami hindari," kata dia.
Ferry mengatakan PGI DKI Jakarta selama ini berpegang pada sikap kritis dan realistis. Baginya, pelbagai kebijakan Anies yang baik untuk umat tentunya akan didukung. Ia mencontohkan kebijakan BOTI dari Anies bagi gereja-gereja di Jakarta patut diapresiasi.
Selain itu, Ia juga mengatakan PGI DKI Jakarta merasa terbantu dengan kemudahan membangun gereja di Jakarta. Ia mencontohkan pembangunan GPIB di Lubang Buaya Jakarta Timur sempat ada kendala, namun berhasil diresmikan dengan baik.
Anies sempat menyerahkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menghadiri peletakan batu pertama Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Pelita di Lubang Buaya, Jakarta Timur pada 27 Desember 2021 lalu.
"Beliau [Anies] kita lihat ambil bagian sama-sama memberikan pandangan kepada warga sekitar sehingga izin bisa turun. Peran ini dimainkan beliau," kata Ferry.
Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan berpendapat beda. Menurutnya selama ini Anies hanya mempraktikkan keberagaman secara festival, bukan secara substantif di tengah-tengah masyarakat.
Contohnya, dengan rencana Anies membuat rencana Perayaan Natal bersama bagi warga Jakarta di Monas pada akhir 2017 lalu dan kerap mengunjungi tempat-tempat ibadah saat hari besar keagamaan.
"Itu yang disebutkan tadi bukan substansi, tapi sifatnya festivalis, memfestivalkan kebinekaan. Itu bagus di permukaan, tapi enggak membantu keadaan ketika intoleransi masif tingkat akar rumput," kata Halili.
"Betul festival itu penting, tindakan konkret dari sebuah kepemimpinan politik. Tapi itu tak cukup," tambahnya.
Halili berpendapat yang dibutuhkan oleh Jakarta sebetulnya bukan acara-acara seremonial seperti perayaan natal bersama atau menghadiri tempat-tempat ibadah keagamaan.
 Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengunjungi Wihara Dharma Bhakti, Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat di hari raya Imlek. Jakarta, Selasa 5 Februari 2019. Anies dalam kunjungannya juga membawa putranya, Ismail Hakim dan Michael Hazizi. CNN Indonesia/Andry Novelino |
Warga Jakarta disebutnya lebih membutuhkan keberagaman dalam arti substantif. Subtansi ini harus dimulai dari tindakan, kebijakan, penganggaran hingga perilaku keseharian yang menunjukkan penguatan terhadap toleransi dan kebinekaan.
Di masa kepemimpinan Anies, Halili belum melihat Jakarta sebagai kota barometer keberagaman dan kebinekaan di Indonesia selama di bawah Anies. Padahal, Jakarta memiliki pelbagai sumber daya melimpah untuk mewujudkan itu. Baik dari sisi kebijakan, anggaran hingga aparatur sumber daya manusia birokrasi yang melimpah.
Atas dasar itu Halili menilai kondisi keberagaman Jakarta di bawah Anies Baswedan belum seideal yang diharap sebagai sebuah ibu kota negara.
Terlebih lagi, Ia mengatakan warga Jakarta sampai saat ini masih menanggung luka polarisasi imbas Pilkada 2017 lalu yang belum sembuh.
"Akhirnya ada situasi polarisasi di satu sisi dan menebalkan konservatisme di kelompok pendukung Anies. Polarisasi sulit dibantah, maka barangkali sulit diobati sampai jabatan beliau berakhir nanti. Saat Pilkada itu yang bersangkutan mendiamkan politisasi identitas dari berbagai aktor. Itu membuat kerja Anies itu jadi sulit percaya pada isu-isu yang demikian itu," kata Halili.
Kritik Halili bisa jadi benar soal Anies yang kerap bermain pada tataran seremoni. Namun, komitmen atas kebijakan non diskriminasi nyatanya juga tecermin dari sisi anggaran.
Sejak 2019, Anies rutin menyalurkan bantuan bagi rumah ibadah lewat progam Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI). Progam ini bertujuan untuk meningkatkan manfaat tempat ibadah berbagai agama.
Besaran dana hibah BOTI untuk tempat ibadah besar seperti masjid, gereja, pura, dan vihara sejumlah Rp2 juta per bulan. Sementara, untuk tempat ibadah sedang seperti musala sebesar Rp1 juta per bulan. Selain itu, ada dana insentif untuk pengurus/penjaga tempat-tempat ibadah, seperti marbot, imam masjid/musala, pengurus gereja, vihara, dan pura sebesar Rp500 ribu per bulan.
Dana hibah BOTI dan insentif ini diberikan selama 12 bulan. Sejak tahun 2019 hingga 2022, Pemprov DKI telah menyalurkan sebesar 439 miliar rupiah untuk Bantuan Operasional Tempat Ibadah di Jakarta dengan penerima sebesar 80% dari total tempat ibadah semua agama di Jakarta.
Dalam 4 tahun terakhir, sebanyak 5.200 masjid dan musala, 1.379 gereja, 29 vihara, dan 15 pura, kuil, dan mandil telah menerima BOTI yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasionalnya.
Sementara itu Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI DKI Jakarta Faiz Rafdi berpendapat keberagaman dan kerukunan antarumat beragama di Jakarta relatif lebih kondusif di masa kepemimpinan Anies lima tahun belakangan.
"Sebelumnya kan sempat heboh soal politisasi dan lain-lain, nah ini relatif lebih stabil. Lalu soal kerukunan beragama tidak ada gesek-gesekan ya," kata Faiz.
Faiz melihat ormas-ormas Islam tak punya kendala ketika ingin beribadah dan membangun masjid dan musala di Jakarta selama lima tahun belakangan ini. Di internal MUI, kata dia, tak pernah mendengar ada keluhan demikian dari ormas-ormas Islam di Jakarta.
"MUI Jakarta itu kan rumah besar dari ormas-ormas Islam di Jakarta. Di internal, baik NU atau Muhammadiyah atau Persis, tak ada perbincangan di MUI mengeluh soal itu. Jadi relatif jauh lebih baik," kata dia.
Di sisi lain, Faiz turut menilai bahwa Anies tak pernah menyinggung umat agama lain semasa menjabat. Sebaliknya, Anies kerap meminta agar tak mempolitisasi agama untuk kepentingan politik praksis saat digelarnya forum bersama MUI DKI.
"Jadi Pak Anies ingatkan kepada kami. Ini Pak Anies jaga betul jangan sampai peristiwa sejenis terulang lagi dan harus merangkul berbagai pihak," kata dia.