Berdasarkan laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis Badan Pusat Statistik tahun 2021, DKI Jakarta menduduki peringkat satu secara nasional dengan nilai indeks 82,08. Peringkat tertinggi itu diraih DKI Jakarta selama lima tahun berturut-turut sejak 2017-2021.
Ada tiga aspek yang dinilai dalam penghitungan nilai IDI, yaitu aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik dan aspek lembaga demokrasi.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Wilayah DKI Jakarta Ferry Simanjuntak tak memungkiri Pilkada DKI Jakarta 2017 telah menimbulkan politik identitas di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Ferry berpandangan Anies tak tersandera dengan pihak yang menggunakan politik identitas ketika sudah menjabat sebagai gubernur.
"Artinya dapat dilihat perhatian beliau kepada umat beragama cenderung tak tampak hal-hal keberpihakan kepada umat agama tertentu saja," kata Ferry kepada CNNIndonesia.com, Selasa (20/9).
"Kebijakan beliau bersama FKUB Jakarta memang kondisinya saya pikir kondusif ya. Enggak ada gejolak yang muncul berkaitan tentang kepemimpinan beliau," tambahnya.
Ferry menyebut kehadiran Anies dalam sejumlah acara peresmian gereja dan perayaan keagamaan lain adalah salah satu indikator Anies tak tersandera oleh pihak-pihak yang kerap menggaungkan politik Identitas.
"Kita harus lihat mana yang baik dikatakan baik. Mana yang bisa memiliki dampak dan pandangan jadi kurang baik juga kami hindari," kata dia.
Ferry mengatakan PGI DKI Jakarta selama ini berpegang pada sikap kritis dan realistis. Baginya, pelbagai kebijakan Anies yang baik untuk umat tentunya akan didukung. Ia mencontohkan kebijakan BOTI dari Anies bagi gereja-gereja di Jakarta patut diapresiasi.
Selain itu, Ia juga mengatakan PGI DKI Jakarta merasa terbantu dengan kemudahan membangun gereja di Jakarta. Ia mencontohkan pembangunan GPIB di Lubang Buaya Jakarta Timur sempat ada kendala, namun berhasil diresmikan dengan baik.
Anies sempat menyerahkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menghadiri peletakan batu pertama Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Pelita di Lubang Buaya, Jakarta Timur pada 27 Desember 2021 lalu.
"Beliau [Anies] kita lihat ambil bagian sama-sama memberikan pandangan kepada warga sekitar sehingga izin bisa turun. Peran ini dimainkan beliau," kata Ferry.
Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan berpendapat beda. Menurutnya selama ini Anies hanya mempraktikkan keberagaman secara festival, bukan secara substantif di tengah-tengah masyarakat.
Contohnya, dengan rencana Anies membuat rencana Perayaan Natal bersama bagi warga Jakarta di Monas pada akhir 2017 lalu dan kerap mengunjungi tempat-tempat ibadah saat hari besar keagamaan.
"Itu yang disebutkan tadi bukan substansi, tapi sifatnya festivalis, memfestivalkan kebinekaan. Itu bagus di permukaan, tapi enggak membantu keadaan ketika intoleransi masif tingkat akar rumput," kata Halili.
"Betul festival itu penting, tindakan konkret dari sebuah kepemimpinan politik. Tapi itu tak cukup," tambahnya.
Halili berpendapat yang dibutuhkan oleh Jakarta sebetulnya bukan acara-acara seremonial seperti perayaan natal bersama atau menghadiri tempat-tempat ibadah keagamaan.
![]() |
Warga Jakarta disebutnya lebih membutuhkan keberagaman dalam arti substantif. Subtansi ini harus dimulai dari tindakan, kebijakan, penganggaran hingga perilaku keseharian yang menunjukkan penguatan terhadap toleransi dan kebinekaan.
Di masa kepemimpinan Anies, Halili belum melihat Jakarta sebagai kota barometer keberagaman dan kebinekaan di Indonesia selama di bawah Anies. Padahal, Jakarta memiliki pelbagai sumber daya melimpah untuk mewujudkan itu. Baik dari sisi kebijakan, anggaran hingga aparatur sumber daya manusia birokrasi yang melimpah.
Atas dasar itu Halili menilai kondisi keberagaman Jakarta di bawah Anies Baswedan belum seideal yang diharap sebagai sebuah ibu kota negara.
Terlebih lagi, Ia mengatakan warga Jakarta sampai saat ini masih menanggung luka polarisasi imbas Pilkada 2017 lalu yang belum sembuh.
"Akhirnya ada situasi polarisasi di satu sisi dan menebalkan konservatisme di kelompok pendukung Anies. Polarisasi sulit dibantah, maka barangkali sulit diobati sampai jabatan beliau berakhir nanti. Saat Pilkada itu yang bersangkutan mendiamkan politisasi identitas dari berbagai aktor. Itu membuat kerja Anies itu jadi sulit percaya pada isu-isu yang demikian itu," kata Halili.
Kritik Halili bisa jadi benar soal Anies yang kerap bermain pada tataran seremoni. Namun, komitmen atas kebijakan non diskriminasi nyatanya juga tecermin dari sisi anggaran.
Sejak 2019, Anies rutin menyalurkan bantuan bagi rumah ibadah lewat progam Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI). Progam ini bertujuan untuk meningkatkan manfaat tempat ibadah berbagai agama.
Besaran dana hibah BOTI untuk tempat ibadah besar seperti masjid, gereja, pura, dan vihara sejumlah Rp2 juta per bulan. Sementara, untuk tempat ibadah sedang seperti musala sebesar Rp1 juta per bulan. Selain itu, ada dana insentif untuk pengurus/penjaga tempat-tempat ibadah, seperti marbot, imam masjid/musala, pengurus gereja, vihara, dan pura sebesar Rp500 ribu per bulan.
Lihat Juga : |
Dana hibah BOTI dan insentif ini diberikan selama 12 bulan. Sejak tahun 2019 hingga 2022, Pemprov DKI telah menyalurkan sebesar 439 miliar rupiah untuk Bantuan Operasional Tempat Ibadah di Jakarta dengan penerima sebesar 80% dari total tempat ibadah semua agama di Jakarta.
Dalam 4 tahun terakhir, sebanyak 5.200 masjid dan musala, 1.379 gereja, 29 vihara, dan 15 pura, kuil, dan mandil telah menerima BOTI yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasionalnya.
Sementara itu Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI DKI Jakarta Faiz Rafdi berpendapat keberagaman dan kerukunan antarumat beragama di Jakarta relatif lebih kondusif di masa kepemimpinan Anies lima tahun belakangan.
"Sebelumnya kan sempat heboh soal politisasi dan lain-lain, nah ini relatif lebih stabil. Lalu soal kerukunan beragama tidak ada gesek-gesekan ya," kata Faiz.
Faiz melihat ormas-ormas Islam tak punya kendala ketika ingin beribadah dan membangun masjid dan musala di Jakarta selama lima tahun belakangan ini. Di internal MUI, kata dia, tak pernah mendengar ada keluhan demikian dari ormas-ormas Islam di Jakarta.
"MUI Jakarta itu kan rumah besar dari ormas-ormas Islam di Jakarta. Di internal, baik NU atau Muhammadiyah atau Persis, tak ada perbincangan di MUI mengeluh soal itu. Jadi relatif jauh lebih baik," kata dia.
Di sisi lain, Faiz turut menilai bahwa Anies tak pernah menyinggung umat agama lain semasa menjabat. Sebaliknya, Anies kerap meminta agar tak mempolitisasi agama untuk kepentingan politik praksis saat digelarnya forum bersama MUI DKI.
"Jadi Pak Anies ingatkan kepada kami. Ini Pak Anies jaga betul jangan sampai peristiwa sejenis terulang lagi dan harus merangkul berbagai pihak," kata dia.
(rzr/isn)