Pakar Respons Sujud Bersama Polres Malang soal Tragedi Kanjuruhan
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel berharap langkah jajaran Polresta Malang Kota, Jawa Timur, bersujud meminta maaf soal Tragedi Kanjuruhan pada apel pagi di markas polisi itu bisa memberi keyakinan bagi publik bahwa polisi sungguh-sungguh ingin memberikan penawar atas luka itu.
Namun, dia mengingatkan permintaan maaf itu tak akan ada artinya apabila pengusutan kasus ini tidak dilakukan secara tuntas dan akuntabel dalam prosesnya. Dia pun menyinggung soal 'Reformasi Kepolisian' yang sudah menahun digemakan tapi hasilnya seperti tak terlihat hingga saat ini dalam praktiknya.
"Tapi, apologi tanpa akuntabilitas jelas tak banyak bermanfaat. Seperti halnya frasa 'reformasi kepolisian'. Sudah membahana sejak puluhan tahun silam, dan digemakan lagi hari-hari belakangan ini, tapi bagaimana reformasi itu akan dilakukan? Entahlah," kata Reza dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (10/10).
Di satu sisi, dia melihat langkah jajaran Polresta Malang itu mengingatkannya kepada aksi simpatik polisi terhadap isu rasialitas aparat Amerika Serikat (AS) yang berujung kematian warga kulit hitam, George Floyd.
"Mengingatkan saya pada aksi simpatik serupa yang dilakukan oleh banyak personel polisi pascatewasnya George Floyd di lutut polisi," kata dia.
"Penyesalan sekaligus permintaan maaf semacam ini memang sangat penting. Pasalnya, berbeda dengan urusan pidana dan etik yang barangkali akan selesai beberapa pekan atau beberapa bulan, luka batin masyarakat pasti akan menganga dalam waktu yang sangat lama," imbuhnya.
Saat dikonfirmasi, Kasi Humas Polresta Malang Kota Ipda Eko Novianto membenarkan soal aksi sujud bersama oleh para personel itu.
Eko menyebut sujud bersama itu dilakukan dalam apel yang dipimpin langsung oleh Kapolresta Malang Kota Kombes Budi Hermanto, Senin pagi itu.
Executive Order
Reza menyoroti Polri yang saat ini malah terkesan bergerak ke paramiliteristik, di mana dia menyinggung seragam loreng salah satu satuan polisi yang mirip tentara.
Daripada menunjukkan dengan warna seragam yang terkesan militer atau gelap, Reza berpendapat polisi sebagiknya memakai baju terang. Menurutnya warna terang itu mengirim pesan tenang, terbuka, santun, dan bisa didekati.
Selain itu, ia juga berharap agar Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan perintah eksekutif (executive order) khusus terkait persenjataan dan prosedur penanganan massa oleh Polri. Dia mendasarkan itu atas langkah Presiden ke-44 Amerika Serikat (AS) Barack Obama saat mengeluarkan executive order buat polisi di Negara Paman Sam itu.
Kala itu Obama menerbitkan executive order yang berisi panduan detail tentang daftar peralatan yang dilarang dan dikendalikan; kebijakan, pelatihan, dan protokol penggunaan peralatan; proses akuisisi peralatan; transfer, penjualan, pengembalian, dan penghancuran peralatan; serta pengawasan, kepatuhan, dan implementasi.
"Tapi saya pesimis Jokowi akan mengeluarkan executive order semacam itu. Jadi, Kapolri saja yang ambil langkah komprehensif dengan cakupan seluas executive order Obama tadi," kata Reza.
Reza melanjutkan, upaya itu menurutnya semakin penting untuk dilakukan lantaran terjadi peningkatan anggaran Polri untuk pengadaan peralatan pengendali massa, antara lain gas air mata.
Penggunaan cara keras itu menurutnya merefleksikan derajat kesantunan personel, sekaligus mengisyaratkan tingginya legal cynicism di masyarakat. Legal cynicism tersebut ditandai oleh ketidakpatuhan masyarakat pada hukum dan keengganan masyarakat bekerjasama dengan polisi.
"Ini enam kali lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa polisi sudah punya ramalan akan banyak situasi massa yang bakal dihadapi dengan cara keras," ujar Reza.
Sebagai informasi, kericuhan terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang pada 1 Oktober lalu usai pertandingan Arema FC versus Persebaya Surabaya. Dalam tragedi tersebut, Polri menyatakan setidaknya 131 orang meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Dalam perkara ini, sebanyak enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT LIB Ahkmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno.
Ketiganya dikenakan Pasal 359 KUHP dan atau Pasal 360 KUHP dan atau Pasal 130 ayat 1 Jo Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2022.
Sedangkan tiga tersangka lain, yaitu Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, serta Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman. Mereka dikenakan dengan Pasal 359 KUHP dan atau Pasal 360 KUHP.
Kapolri pun telah mencopot sejumlah polisi dari jabatannya terkait Tragedi Kanjuruhan, salah satunya Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat.
(pop/kid)