Mahkamah Agung (MA) memutuskan tetap mempertahankan tiga hakim konstitusi yang diusulkan lembaga tersebut. Ketiganya yakni Anwar Usman, Suhartoyo, dan Manahan M.P. Sitompul.
Keputusan ini menjawab surat pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait tindakan konfirmasi terhadap lembaga yang mengajukan hakim konstitusi sebagaimana pertimbangan putusan dalam perkara nomor: 96/PUU-XVIII/2020 tentang Revisi UU MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena surat tersebut sifatnya hanya konfirmasi yang antara lain memberitahukan bahwa masa tugas hakim MK tidak lagi didasarkan pada periodesasi, tetapi saat ini sesuai dengan UU MK masa tugas hakim MK berlaku sampai pada usia pensiun 70 tahun," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro melalui pesan tertulis, Selasa (11/10).
"Oleh karena itu, MA tidak menjawab atau menanggapi surat Ketua MK itu," sambungnya.
Adapun sembilan hakim konstitusi diusulkan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
DPR sebagai lembaga legislatif memutuskan untuk menarik hakim konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah. Sementara dua hakim konstitusi lainnya dari DPR yaitu Arief Hidayat dan Wahiduddin Adams masih dipertahankan.
Ketua MK juga mengirimkan surat kepada eksekutif yaitu Presiden Joko Widodo untuk mengonfirmasi kedudukan tiga hakim konstitusi yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic Pancastaki. Namun, belum ada jawaban hingga saat ini.
Sebelumnya, DPR tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto sebagai hakim konstitusi yang berasal dari usulan DPR. Sebagai penggantinya, anggota dewan menunjuk Guntur Hamzah.
Sejumlah pihak merespons tindakan DPR tersebut. Sembilan orang mantan hakim konstitusi yang dipimpin oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mendatangi Gedung MK untuk memprotes pencopotan Aswanto pada Sabtu (1/10).
Jimly mengatakan pemberhentian hakim dilakukan hanya karena alasan-alasan tertentu, seperti meninggal dunia, habis masa jabatan, melanggar hukum, atau melanggar kode etik. Ia menegaskan DPR tak punya wewenang memberhentikan hakim konstitusi.
"Menurut ketentuan Undang-undang MK Pasal 23 ayat (4), pemberhentian hakim itu suratnya bukan dari lembaga yang bersangkutan, tapi dari MK. Jadi, kalau tidak ada surat dari MK, enggak bisa diberhentikan," kata Jimly.
(ryn/fra)