ANALISIS

Mempertanyakan Pengawasan Obat dalam Kasus Gangguan Ginjal Akut

CNN Indonesia
Sabtu, 22 Okt 2022 10:29 WIB
Karyawan menunggu pelanggan di loket yang menampilkan pemberitahuan penghentian sementara penjualan sirup obat di apotek di Jakarta, Indonesia, Kamis, 20 Oktober 2022. (AP/Tatan Syuflana)
Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan lima jenis obat parasetamol cair yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Pengumuman itu menyusul kasus gagal ginjal akut anak yang menyebabkan kematian.

Menurut BPOM, pihaknya telah melakukan pengujian atau sampling terhadap 39 bets dari 26 sirop obat yang diduga mengandung EG danDEG.

BPOM menemukan kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada lima produk, yaitu Termorex Sirup (obat demam) produksi PT Konimex dan Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu) produksi PT Yarindo Farmatama.

Kemudian Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), Unibebi Demam Sirup (obat demam), dan Unibebi Demam Drops (obat demam) yang merupakan produksi Universal Pharmaceutical Industries.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan BPOM sejak awal seharusnya memastikan bahwa proses yang dijalankan oleh setiap perusahaan obat sesuai prosedur, sehingga ada ketaatan terhadap produsen.

Ia menekankan proses registrasi perizinan oleh perusahan tersebut harus benar-benar ditegakkan.

"Proses pengawasan harus dilihat. Lalu mekanisme reporting secepatnya," kata Ede kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/10).

Menurutnya, semakin banyaknya laporan yang masuk maka semakin terlihat kinerja BPOM. Dengan demikian, BPOM bisa dengan cepat melakukan upaya pencegahan agar korban tak bertambah banyak.

"Sehingga yang kita dapatkan adalah efektivitas efikasi bukan malah kerusakan pada safety yang sangat tidak kita harapkan," ujarnya.

Ede melihat dalam kasus gagal ginjal akut terdapat dua isu. Pertama, BPOM yang berwenang menarik peredaran obat. Kedua, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus mempercepat proses penelitian terkait kasus tersebut.

"Sebenarnya ada proses apa? Apakah ada sebuah interaksi obat baru padahal obat ini sudah biasa bertahun-tahun dipakai kok sekarang ada perubahan? Atau barangkali ini obat diproduksi tahun berapa sih," katanya.

"Ternyata misalnya katakanlah itu produksi setahun terakhir. Pertanyaannya kan apakah ada tambahan lain terhadap obat itu, sehingga ternyata yang dulu enggak ada masalah jadi bermasalah," sambungnya.

Ede mengatakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan perubahan itu harus segera dilakukan pencarian.

Ia menambahkan, kemungkinan paling logis perubahan tersebut adalah adanya interaksi obat yang kemudian menimbulkan bahaya. Hal itu, kata dia, harus segera ditangani agar tidak terjadi pembiaran.

"Jangan sampai ada pembiaran," ujarnya.

Kemampuan Mendeteksi yang Bermasalah

Sementara itu, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mempertanyakan sistem pengawasan obat yang dilakukan oleh BPOM.

Hal ini mengingat tugas BPOM sebagai pihak yang memberi izin edar obat tersebut, tetapi mereka pula yang melakukan pencabutan izin itu.

"Pengawasananya di mana selama ini? Bukan pada hari ini saja, selama ini. Apakah setelah dikasih izin dilepas begitu saja. Tunggu ada kejadian kondisi seperti sekarang baru kemudian dilakukan pengawasan? Kan, enggak begitu harusnya," katanya.

Pasalnya, secara historis obat-obatan itu sudah ada selama bertahun-tahun di Indonesia. Namun, BPOM baru belakangan mengumumkan obat tersebut berbahaya.

Ia menilai BPOM tidak ada upaya untuk mitigasi ataupun mencegah agar tidak terjadi kondisi seperti sekarang, di mana banyak anak meninggal lantaran penyakit gagal ginjal akut.

"Jadi selama ini kemana saja? Apa saja yang dilakukan, kok ya bisa kebobolan seperti ini," tanya Masdalina.

Lebih lanjut Masdalina menjelaskan, berdasarkan grafik tiga bulan terakhir angka kasus gagal ginjal akut meningkat. Namun, seharusnya kasus tersebut tidak dihitung ketika mereka masuk ke rumah sakit.

"Harusnya sakit itu dimulainya dari on set bukan dari tanggal masuk rumah sakit. Kalau sudah masuk rumah sakit itu biasanya anak-anak itu sudah berat," katanya.

Ia mengatakan mereka yang terpapar penyakit gagal ginjal akut sebelum masuk rumah sakit mestinya mendapat penanganan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

"Jadi kemampuan mengenali dan kemampuan mendeteksi kita selalu bermasalah," ujarnya.

Tanggung Jawab Industri

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam konferensi pers bersama Kementerian Kesehatan, Jumat (21/10), mengatakan bahwa keamanan serta mutu obat-obatan merupakan tanggungjawab industri farmasi.

Inspektur Utama BPOM Elin Herlina mengklaim bahwa pihaknya tak menyerahkan pengawasan kualitas obat kepada pihak industri, melainkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahwa hal itu menjadi kewenangan industri farmasi.

"Kenapa di-shifting ke industri farmasi ini adalah sesuai dengan ketentuannya yang bertanggungjawab terhadap keamanan, mutu dan khasiat obat itu adalah industri farmasi," kata Elin dalam konferensi pers di Gedung Adhyatma Kemenkes, Jakarta Selatan, Jumat (21/10).

Ia menambahkan, berdasarkan ketentuan yang berlaku, industri farmasi juga bertanggungjawab melakukan penjaminan melalui pengujian obat-obatan.

Guna mempercepat proses penelusuran obat-obatan yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), kata dia, BPOM menginformasikan kepada industri farmasi untuk melakukan pengujian bahan baku. Hasil pengunian tersebut, kemudian dilaporkan kepada BPOM.

"Ini bukan shifting tetapi memang tugasnya," ujarnya.

Elin juga membantah isu yang beredar bahwa terdapat perubahan bahan baku dalam deretan temuan obat yang dikonsumsi pasien gangguan ginjal akut. 

Ia mengklaim BPOM selalu melakukan penilaian terhadap bahan bahan baku obat yang digunakan perusahaan farmasi.

"Dari ketentuannya bahwa setiap industri farmasi wajib melaporkan kepada BPOM setiap akan melakukan bahan baku jadi perubahan bahan baku diajukan terlebih dahulu," tandasnya.

Infografis Daftar 5 Obat Sirop yang Ditarik BPOM. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi)

Pemerintah Dinilai Tidak Teliti


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :