Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membeberkan tekanan yang dirasakan di fasilitas kesehatan menghadapi pasien gagal ginjal akut beberapa waktu terakhir.
"Naiknya [kasus] pesat sekali, dan pressure (tekanan) ke rumah sakit sudah terasa. Jadi rumah sakit... [pasien] ke RSCM [Rumah Sakit Cipto Mangkunkusumo Jakarta mulai penuh, ICUnya, untuk anak-anak tuh," kata Budi dalam konferensi pers di Gedung Adhyatma Kemenkes, Jakarta Selatan, Jumat (21/10).
Diketahui, Budi mengaku pihaknya sempat salah mendeteksi penyebab lonjakan gagal ginjal akut, terutama pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia membeberkan, peningkatan kasus gagal ginjal akut sebetulnya terlihat pada Agustus 2022. Saat itu, kata dia, kasus masih terdeteksi sedikit jumlahnya.
"Ketika ada kenaikan kita mulai melakukan penelitian ini penyebab apa," ungkap Budi.
Semula Kemenkes menduga hal tersebut disebabkan oleh infeksi organisme kecil atau patogen. Namun, kesadaran pihaknya baru terbuka setelah ada lonjakan kasus yang sama di Gambia, dan rilis dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Yang membuat kita agak terbuka adalah karena ada kasus di Gambia, 5 Oktober WHO keluarkan rilis ada kasus, dan ini disebabkan oleh senyawa kimia," ungkap Budi.
Setelah itu, pihaknya mulai melakukan pendalaman kembali dan menemukan kasus gagal ginjal akut itu diduga disebabkan senyawa Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) di atas ambang batas pada obat-obatan yang dikonsumsi. Itu pun diketahui berdasarkan penelitian dengan mendalami keluarga pasien.
"Ini bukan karena patogen karena toksik. Kita tes ke anak-anak tersebut yang ada di RSCM. Dari 17 ada 15 positif memiliki senyawa tadi EG dan DEG. Itu ada di mereka. Jadi terkonfirmasi ini disebabkan oleh senyawa kimia," ucap Budi.
Budi menjelaskan senyawa EG dan DEG yang masuk ke tubuh berubah menjadi asam oksalat yakni zat yang berbahaya bagi tubuh.
"Kalau masuk ke ginjal bisa jadi kalsium oksalat. Kristal kecil yang tajam-tajam di ginjal balita sehingga rusak ginjalnya," jelas Budi.
Atas dasar itulah, Budi menegaskan pihaknya mengambil kebijakan sementara untuk menyetop pemberian obat sirop kepada pasien.
"Jadi kita mengambil kebijakan yang sifatnya konservatif. Daripada nanti banyak lagi balita yang masuk rumah sakti dan fatality rate-nya tinggi sekali," kata Budi.
"Kita ambil kebijakan konservatif meski belum 100 persen tahu yang mana yang berbahaya dan tidak. Tapi, 75 persen kita tahu yg menyebabkan ini kita larang dulu. Kita larang untuk diresepkan dan dijual," imbuhnya.
Adapun sebagai bentuk kewaspadaan atas risiko gagal ginjal akut, Kemenkes sebelumnya telah menginstruksikan agar seluruh apotek yang beroperasi di Indonesia untuk sementara ini tidak menjual obat bebas dalam bentuk sirup kepada masyarakat. Para tenaga kesehatan juga diminta tak lagi memberikan resep obat sirop kepada pasien.
Seluruh ketetapan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak yang diteken oleh Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami pada Selasa (18/10).
Terbaru, total kumulatif kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia mencapai 241 orang per Selasa (18/10). Dari ratusan kasus itu, 133 orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
(khr/kid)