Jakarta, CNN Indonesia --
Partai NasDem, Demokrat, dan PKS sibuk mencari bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Anies Baswedan di Pilpres 2024 mendatang.
Ketiga partai telah membentuk tim kecil yang melibatkan perwakilan dari masing-masing partai demi mencari sosok yang pantas dan cocok menjadi cawapres untuk Anies.
Pada Selasa (25/10), perwakilan Partai NasDem, Demokrat, dan PKS menggelar pertemuan untuk kedua kalinya. Dalam pertemuan kemarin, turut hadir Anies dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya mengatakan pertemuan itu dihadiri sejumlah perwakilan ketiga partai antara lain Sohibul Iman, Pipin Sofian, Muhammad Kholid, Iftitah, Benny K. Harman, dan Sudirman Said.
Willy mengamini salah satu topik yang dibahas adalah terkait cawapres pendamping Anies di Pilpres 2024. Namun, dia mengatakan belum ada keputusan.
"Belum [ada keputusan], masih ada beberapa hal ya tentang cawapres tadi kita bahas," kata Willy saat dihubungi.
Dalam perjalanannya, Juru Bicara PKS Muhammad Kholid mengatakan usulan cawapres dari PKS sudah mengerucut kepada satu nama yakni mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan atau Aher.
Namun, tak lama berselang, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Demokrat Herzaky Mahendra Putra menyindir sosok dengan elektabilitas rendah dan tidak berkontribusi dalam pembentukan koalisi ingin diusung sebagai capres atau cawapres di Pilpres 2024.
Herzaky menjelaskan kerja sama dengan NasDem dan PKS tidak akan berujung pada kesepakatan mengusung tokoh dengan elektabilitas rendah.
Sebagai informasi, survei KedaiKOPI pada awal tahun 2022 dan Indonesia Political Opinion (IPO) pada Maret 2021 menyimpulkan bahwa elektabilitas Aher tak lebih dari tiga persen.
Adapun Partai Demokrat mengajukan AHY sebagai bakal cawapres mendampingi Anies. Sementara itu, NasDem menyerahkan kepada Anies terkait sosok cawapres yang bakal mendampinginya.
Masa Depan Koalisi
Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo mengatakan pemilihan cawapres pendamping Anies menjadi ujian awal untuk menentukan hubungan Partai NasDem, Demokrat dan PKS.
"Menurut saya memang ini jadi cobaan awal jadi tidaknya koalisi ini. Kalau mereka bisa lolos dari ujian ini, ya, mereka bisa solid. Tapi, kalau enggak, ya bubar jalan," kata Kunto saat diwawancara CNNIndonesia.com, Selasa.
Kunto menuturkan kondisi saat ini masih sangat dinamis untuk memperkirakan masa depan ketiga partai tersebut. Kata dia, terlalu dini untuk meramal penjajakan koalisi tersebut.
"Masih sangat dinamis. Kita lihat saja KIB [Koalisi Indonesia Bersatu], ada koalisi enggak ada capres. Gerindra-PKB berkoalisi enggak ada capres. Ini NasDem punya capres tapi enggak ada koalisi. Semuanya masih sangat cair," ucapnya.
Selengkapnya di halaman berikutnya.
Terkait cawapres pendamping Anies, Kunto mempunyai saran agar posisi tersebut diisi oleh tokoh yang mempunyai basis kuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebab, menurut Kunto, dua provinsi itu mempunyai pemilih yang besar.
Terlebih, menurut dia, Anies sudah mempunyai basis pemilih yang kuat di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Barat.
"Kalau Pak Anies enggak punya basis di Jawa Tengah-Jawa Timur kan repot tuh untuk Pilpres. Sedangkan saya enggak melihat PKS dan Demokrat punya basis di situ, NasDem walaupun ada tapi enggak kuat," kata Kunto.
"So, menurut saya, kalau pengin menang ya harus punya cawapres yang memang punya basis kuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur," sambungnya.
Kunto pun menyatakan sosok cawapres itu tak harus dari partai politik. Menurutnya, saat ini pemilih lebih mudah mengasosiasikan diri ke tokoh dibandingkan ke partai.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah mengatakan hubungan Partai NasDem, Demokrat dan PKS mempunyai peluang untuk bertahan terkait dengan kerja sama menyongsong pesta demokrasi dua tahun mendatang.
Apalagi, menurut Dedi, Partai Demokrat dan PKS tak punya pilihan lain selain bergabung dengan NasDem yang telah mendeklarasikan Anies sebagai capres.
"Peluang koalisi lebih mungkin dibanding pecah di tengah jalan, hal ini mengingat Demokrat dan PKS tidak punya pilihan lain jika ingin ikut kontestasi selain bersama NasDem dengan capres Anies Baswedan, kecuali PKS dan Demokrat tidak ikut dalam kontestasi," ujar Dedi kepada CNNIndonesia.com.
Dedi menyoroti pertemuan tim kecil perwakilan Partai NasDem, Demokrat dan PKS di mana Anies dan AHY terlibat langsung di dalamnya. Menurut dia, pertemuan itu lumrah karena posisi cawapres merupakan keputusan penting yang akan menentukan kemenangan.
Dia memandang sangat sulit menentukan sosok cawapres berasal dari internal ketiga partai politik tersebut. Bagi Anies, terang Dedi, sosok cawapres harus tokoh yang secara politik tidak sama capres. Sementara AHY ataupun kader PKS, Dedi menilai, besar kemungkinan mempunyai kesamaan dengan Anies.
"Artinya, apa yang dimiliki PKS dan Demokrat sudah ada pada Anies. Situasi inilah yang membuat koalisi sulit tentukan cawapres dari kader masing-masing," imbuhnya.
Untuk memenangkan koalisi, Dedi mengatakan Partai Demokrat dan PKS harus berbesar hati dengan menerima tokoh di luar partai politik untuk menjadi cawapres pendamping Anies. Ia menyebut nama Panglima TNI Andika Perkasa.
"Andika jelas tokoh yang mampu membangun jaringan pemilih dalam waktu singkat, terlebih ia panglima militer. Paduan Anies sebagai sipil intelektual cum religius nasionalis bertemu dengan militer, cukup menarik," ucap Dedi.
Ia menegaskan penentuan cawapres pendamping Anies bakal mempengaruhi kemenangan koalisi di Pilpres mendatang. Karena itu, Dedi menilai, Demokrat dan PKS pada akhirnya akan dipaksa menerima keputusan mengambil cawapres di luar kader parpol.
"Tentu paksaan ini pada dasarnya untuk kebaikan semua mitra koalisi," kata dia.