Sejumlah organisasi profesi (OP) NTB memprotes penghapusan UU Profesi dalam Omnibus Law RUU tentang Kesehatan yang masuk prolegnas prioritas perubahan ketiga 2020-2024.
UU Profesi tersebut terdiri dari UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan.
Dalam hal ini, OP yang dimaksud adalah IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), hingga Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) di daerah Nusa Tenggara Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PPNI sendiri bahkan mengancam melakukan aksi mogok nasional.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Wilayah NTB Rohadi menyatakan OP wilayah NTB menanggapi RUU ini karena menganggap sudah menjalani koordinasi dengan pemerintah selama puluhan tahun di bidang kesehatan.
"Hubungan OP dengan pemerintah sudah berjalan sangat harmonis dan saling bersinergi bersama antara pemerintah maupun OP," kata Rohadi dalam acara jumpa pers daring, Sabtu (5/11).
Keberadaan OP kesehatan ini, lanjut Rohadi, sudah dari sejak dulu kala memang membantu tugas pemerintah, dalam hal dinas kesehatan daerah masing-masing. Terutama di dalam pemeriksaan latar belakang dan lain sebagainya yang berhubungan dengan praktik-praktik OP di wilayah NTB.
"OP kesehatan yang ada saat ini tidak perlu memperoleh informasi ataupun diajak terlibat ke dalam diskusi mengenai RUU kesehatan tersebut. Demikian juga dengan pemerintah daerah dan dinas kesehatan setempat juga tidak mengetahui tentang hal ini," ucapnya lebih lanjut.
Dirinya menyatakan OP di wilayah NTB sangat mendukung sistem kesehatan yang terdapat dalam RUU tersebut terutama dalam hal pemerataan dokter spesialis dan OP lain di daerah-daerah, khususnya di NTB.
Meski demikian, Rohadi mengutarakan bahwa OP tidak bisa dihilangkan demikian saja karena mereka sudah berjalan dengan baik dan tertib.
"Hal ini tidak hanya berpotensi negatif pada OP sendiri, namun terutama pada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat lah yang akhirnya merasakan efek terbesar dari penghapusan UU tersebut," lanjut Rohadi.
Kelima organisasi profesi medis Kesehatan tersebut sepakat bahwa Kebijakan kesehatan harus mengedepankan jaminan hak kesehatan terhadap masyarakat.
Dalam menjamin praktik dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya, harus dipastikan kompetensi dan kewenangannya agar keselamatan pasien dapat tetap dijaga.
Dirinya kemudian menekankan beberapa hal yang perlu diperhatikan termasuk kesadaran bahwa tenaga kesehatan juga merupakan warga negara yang memiliki hak-hak konstitusi yang sama.
"Di antara lainnya adalah mendapat perlindungan hukum, perlindungan diri, harta dan martabat, serta berhak memperoleh pekerjaan dan kesejahteraan diri dan keluarga," jelasnya.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Wilayah NTB Muhir pun mengungkap pernyataan yang sama. Ia mengatakan bahwa Ketua OP seluruh RI khususnya NTB berkomitmen untuk dikeluarkan dari pembahasan Omnibus Law.
"UU kita sudah berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Kalau UU ini dimasukkan ke Omnibus Law, otomatis akan memperpanjang lagi regulasi-regulasi yang tidak jelas," ucapnya.
Ia menuntut dukungan dari pemerintah dan DPR RI untuk mendengarkan aspirasi para OP, khususnya dari NTB.
"Kami terus berjuang, apabila ini tidak didengarkan, kami akan mogok nasional," kata Muhir.
"Hal ini salah satu cara kita bagaimana UU kesehatan dikeluarkan dari pembahasan Omnibus law kalau tidak mau, kita mogok nasional. Dengan dasar inilah UU kita melaksanakan tindakan-tindakan yang sesuai aturan," pungkasnya.
Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Provinsi NTB Agus Supriyanto menyatakan bahwa OP Kesehatan tidak pernah memperoleh informasi ataupun diajak terlibat dalam diskusi mengenai RUU Kesehatan ini.
Demikian juga dengan Pemerintah daerah dan Dinkes Setempat juga tidak mengetahui hal ini. Padahal keberadaan OP kesehatan membantu tugas pemerintah dan dinkes daerah terutama dalam pemeriksaan latar belakang anggota, penanganan etik, dan lain-lain.
Catatan Redaksi: Redaksi mengubah judul artikel ini pada Sabtu (5/11) jam 19.32 WIB terkait dengan klarifikasi dari pihak narasumber.
(del/dzu)