Tangis Anak Korban Petrus: Bapak Dicap Kriminal, Lalu Dieksekusi

CNN Indonesia
Senin, 14 Nov 2022 15:00 WIB
Eko Ari Setyawan (42), seorang anak korban penembakan misterius (Petrus). Ia menceritakan tentang ayahnya yang tewas karena dicap sebagai pelaku kriminal pada 1983. Ilustrasi (iStock/yacobchuk)
Jakarta, CNN Indonesia --

Eko Ari Setyawan (42), seorang anak korban penembakan misterius (Petrus) menangis saat menceritakan tentang ayahnya yang tewas karena dicap sebagai pelaku kriminal pada 1983.

Warga Barutikung, Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah itu masih berusia tiga tahun ketika ayahnya, Sugeng tewas di tangan Petrus.

Ari mengaku mulai sering bertanya tentang ayahnya saat SMP. Ia awalnya menemukan kaos dengan bercak darah di dalam lemari pakaian ibunya.

Namun, kata Ari, sang ibu tak pernah menjawab soal sosok ayahnya hingga kemudian usai lulus SMP, Ari dimasukkan ke Pondok Pesantren di Solo.

Ari terus mencoba menanyakan sosok ayahnya yang sering disebut-sebut tetangga meninggal karena ditembak aparat. Sang ibu pun akhirnya menjelaskan kepadanya lewat sepucuk surat.

"Ibu menjawab lewat surat dan membenarkan kalau bapak saya memang meninggal karena ditembak tanpa menyebut siapa yang nembak dan karena apa. Hanya di surat ditulis kata penembakan misterius," kata Ari di depan Tim Non-Yudisial Penyelesaian Pelanggaran Kasus HAM (PPHAM) Kemenko Polhukam di Semarang, Minggu (13/11).

Ari semakin tahu soal Petrus dan ayahnya dari beberapa tetangganya. Menurutnya, ada beberapa warga Barutikung lain yang juga menjadi korban Petrus.

Dari cerita warga, Ari mengetahui Sugeng tewas ditembak pada 1983. Sang ayah dijemput dan dibawa oleh beberapa orang yang diduga aparat.

Dua hari kemudian, pihak RT memberitahukan kepada keluarga bila Sugeng sudah tak bernyawa. Mayatnya tergeletak di daerah Purwodadi, Kabupaten Grobogan.

"Ternyata benar itu ayah saya. Luka tembak peluru di dahi," ujarnya.

Ari dan adiknya Wisnu belum tahu apa kesalahan ayahnya hingga harus dieksekusi oleh Petrus.

Sampai sang ibu meninggal 20 hari lalu, mereka juga tak mendapat penjelasan soal sepak terjang ayahnya hingga harus menjadi target operasi Petrus.

"Kalau cerita tetangga, ayah saya kemungkinan salah sasaran, salah informasi, sehingga dianggap pelaku kriminal saat itu. Padahal, masuk penjara belum pernah, urusan dengan Polisi tidak pernah, hanya saja memang sering membela pasang badan ke warga bila ada warga tetangga yang diributi," ujarnya.

Stigma Kampung Bandit

Cerita Ari dibenarkan oleh Puji Konde, seniman asal kampung Barutikung, Semarang Utara. Konde menyebut ada sekitar 15 orang warga kampung tersebut yang tewas menjadi korban Petrus.

"Barutikung sepengetahuan saya ada 15 orang, enggak tahu benar apa salah. Tapi yang saya ketahui ada 11 orang, itu pasti, karena keluarga korban pernah berkomunikasi dengan saya," kata Konde.

Konde menyebut daerah Barutikung pada medio 1982-1985 dicap sebagai kampung penjahat hingga kampung bandit. Imbasnya, warga Barutikung susah bekerja menjadi PNS, kuliah di Universitas Diponegoro, dan menikah hanya dengan tetangga atau dapat PSK.

"Ari ini contohnya, tahun 1999 dan 2000, hanya dia satu-satunya orang Barutikung yang bisa kuliah di Undip. Jadi Petrus ini memunculkan stigma negatif bagi keluarga korban, tempat tinggal korban, serta status sosial," ujarnya.

Anggota tim PPHAM yang turun menemui langsung beberapa keluarga korban Petrus di Semarang adalah Komarudin Hidayat dan Rahayu Prabowo. Mereka ingin mendengar cerita serta memverifikasi data soal kasus pelanggaran HAM berat Petrus dari keluarga korban.

"Ini semua kita tampung. Cerita, curhatan, keluhan dari keluarga korban ini kita catat dan dokumentasikan untuk nantinya menjadi rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal ini Presiden", kata Rahayu.

Rahayu menjelaskan pihak Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan dan investigasi berkaitan dengan kasus Petrus. Namun, berkas laporan hasil investigasi Komnas HAM tak dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung.

"Yang dibuat Komnas HAM sudah diberikan kepada Kejaksaan Agung, tapi sepertinya tidak jalan hingga saat ini. Ada persoalan apa, kita belum mengetahuinya," ujarnya.

Selain kasus Petrus, Tim PPHAM Kemenko Polhukam juga mendalami 12 kasus pelanggaran HAM berat lain seperti pembunuhan massal tahun 1965, Peristiwa Talang Sari 1989, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, kerusuhan Mei 1998, hingga penghilangan orang paksa.

Kerja tim PPHAM ditargetkan bisa rampung pada akhir Desember 2022 meskipun tidak menutup kemungkinan bisa diperpanjang.

"Targetnya 31 Desember rampung, makanya ini kita ngebut, supaya cepat selesai. Yah kemungkinan bisa untuk diperpanjang," kata Rahayu yang juga Dosen Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang.

(dmr/fra)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK