Satu tahun lalu, tepatnya 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat.
Putusan itu menambah panjang drama undang-undang usulan Presiden Jokowi. UU Cipta Kerja dikenal sebagai aturan kontroversial yang lahir pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Kelahiran Omnibus Law UU Cipta Kerja bermula dari pidato Jokowi usai dilantik pada 20 Oktober 2019. Ia mengatakan berencana mengusulkan aturan untuk menarik investasi dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 12 Februari 2020, pemerintah menyerahkan rancangan omnibus law ke DPR. DPR membacakan surat presiden pada rapat paripurna 2 April 2020. Pembahasan pun dimulai.
DPR dan pemerintah menggelar 64 kali rapat hingga awal Oktober. Bahkan, mereka sampai menggelar rapat di hari libur dan di luar gedung DPR.
Aksi unjuk rasa besar-besaran sempat akan digelar pada 8 Oktober 2020, bersamaan dengan jadwal rapat pengesahan RUU Cipta Kerja. Namun, DPR dan pemerintah mempercepat pembahasan dan aturan itu disahkan pada 5 Oktober 2020.
Kontroversi tak berhenti. Sejumlah draf berbeda beredar setelah pengesahan. Pemerintah dan DPR pun mengakui ada perubahan isi meskipun setelah disahkan. Masyarakat tak terima dengan kebijakan DPR dan pemerintah. Serangkaian aksi unjuk rasa digelar pada akhir tahun 2020.
Perlawanan rakyat tak hanya terjadi di jalanan lewat demonstrasi. Sederet kelompok masyarakat menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Pada 25 November 2021, MK menerbitkan putusan nomor Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Melalui putusan itu, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan'," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan.
"Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini," ucap Usman.
Putusan itu mencetak sejarah. Untuk pertama kalinya, MK mengabulkan sebagian dari gugatan uji formil. Namun, putusan itu belum dijalankan oleh DPR dan pemerintah hingga saat ini.
DPR dan pemerintah justru merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP). UU itu memberi jalan untuk UU Cipta Kerja, salah satunya dengan legitimasi bentuk omnibus law.
Pemerintah baru sekadar menyatakan niat merevisi UU Cipta Kerja. Waktu pasti revisi pun belum dijelaskan secara konkret ke publik.
"Secepat-cepatnya, kalau bisa tahun ini, tahun ini atau tahun depan," kata Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi pada Rabu (6/7).
Elen membuka kemungkinan sejumlah aturan turunan UU Cipta Kerja akan dirombak usai revisi itu. Dia berkata proses revisi akan melibatkan peran serta masyarakat.